Jumat, 24 Juni 2016

WADHI’AH, MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH



WADHI’AH, MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH
Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah
 Bank dan LKS
Dosen Pengampu: Hotman, M.Esy



Oleh:
Kelompok VI

1.    Arif Zulbahri (141258710)
2.   Nyai Ayu Anggraeni Eknadi Putri (141270610)
3.   Yogi Tansri Saputra (141275510)

PROGRAM STUDI STRATA SATU PERBANKAN SYARIAH
(S1 PERBANKAN SYARIAH)
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam beberapa tahun belakangan ini, perkembagan lembaga keuangan yang berlabel Syariah, Bank-bank Syariah sangatlah pesat. Sehingga membuat Bank-bank konvensional ikut-ikutan terbawa arus dan membuka UUS (Unit Usaha Syariah) yang manajemennya terpisah dengan induknya yang berlandaskan konvensional.
Pada dasarnya Bank-bank syariah ialah Bank atau lembaga keuangan yang berlandaskan prinsip Islam, yang mana didalamnya bebas dari unsur-unsur Riba, Gharar, Judi, dan berbagai transaksi-transaksi yang dilarang oleh hukum islam. Dalam mekanisme pelaksaan kegiatan usaha bank syariah, untuk menghindari terjadinya unsur-unsur yang dilarang dalam Islam, maka dalam mekanisme kegiatan usaha bank syariah, baik dalam penghimpunan dan penyaluran dana. Terdapat berbagai macam akad, diantaranya, akad Mudharabah, Musyarakah, Wadiah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah?
2.      Apa landasan hukum diperbolehkannya wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah?
3.      Apa saja masing-masing jenis dari wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah?
4.      Bagaimana aplikasi wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah dalam dunia perbankan Islam?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dari wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah.
2.      Mengetahui landasan hukum tentang wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah.
3.      Dapat mengerti jenis-jenis wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah.
4.      Memahami aplikasi wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah dalam dunia perbankan Islam.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Al – Wadhi’ah
1.      Pengertian Al –Whadi’ah
Dalam tradisi fiqih islam, prinsip titipan/simpanan dikenal dengan prinsip wadi’ah. Al-wadhia’ah adalah titipan dari satu pihak kepada pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat bilamana orang yang titip mengambilnya.
2.      Landasan Hukum
Menitipkan dan menerima titipan hukumnya jaiz (boleh). Bahkan disunnahkan bagi orang yang dapat dipercaya dan mengetahui bahwa dirinya mampu menjaga barang titipan. Dasarnya adalah Alqur’an, Hadist, dan Ijma’:
a.       Dasar Q.S  An-Nisa : 58 yang artinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.[1]
b.      Dasar hadist, yaitu Hadist riwayat Abu Daud dan Tirmidzi sebagai berikut: “Sampaikanlah amanat kepada orang yang memberi amanat kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang-orang yang mengkhianatimu.”
c.       Dasar dari Ijma’ yaitu ulama sepakat diperbolehkannay wadhi’ah. Ia termasuk ibadah sunnah. Dalam kitab Mubdi disebutkan: “ijma’ dalam setiap masa memperbolehkan wadhi’ah. Dalam kitab Ishfah disebutkan : ulama sepakat bahwa wadhi’ah termasuk ibadah sunnah dan menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala.[2]
3.      Aplikasi Wadhi’ah dalam Dunia Perbankan
Secara umum ada dua jenis wadhi’ah yaitu:
1)   Wadhi’ah yad al-amanah
Yang memiliki kriteria sebagai berikut:
a)    Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
b)   Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.[3]
c)    Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
d)   Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan (safe defosit box)
2)   Wadhi’ah yad adh-dhamamah
Memiliki karakteristik sebagai berikut:
a)    Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
b)   Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
c)    Produk perbankan adalah yang sesuai dengan akad ini.
Prinsip Wadhi’ah yad adh-dhamamah inilah yang secara luas kemudian diaplikasikan dalam dunia perbankan syari’ah dalam bentuk produk-produk perdana yaitu:
1)      Giro (Current Account) Wadhi’ah
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya atau dengan pemindahbukuan.
 Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
2)      Tabungan (Saving Account) Wadhi’ah
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
 Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasar prinsip-prinsip syariah.Berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah
B.  Al- Musyarakah
1.      Pengertian Al-Musyarakah
Yakni kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.
2.      Dasar Hukum Musyarakah
Adapun dalil sunnah adalah: Dari Abi Hurairah r.a yang rafa’kan kepada Nabi saw. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT berfirman, “Aku adalah orang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati temannay. Aku akan keluar dari persekutuan tersebur apabila salah seorang mengkhianatinya.” (H.R Abu Dawud dan hakim dan menasihkan sanadnya).
3.      Rukun dan syarat musyarakah:
a.    Rukun-rukun musyarakah adalah adanya:
1)      Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
2)      Objek akad
3)      Sighah, yaitu ijab dan qabul.[4]
b.    Syarat-syarat musyarakah:
1)      Syarat akad:
a)      Syarat berlakunya akad (In’iqod)
b)      Syarat sahnya akad (shihah)
c)      Syarat terealisasinya akad (Nafadz)
d)     Syarat lazim yang harus di penuhi
2)      Pembagian proporsi keuntungan
Dalam pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal-hal berikut:
a)      Proporsi yang dibagikan kepada mitra usaha harus disepakati di awal kontrak/akad.
b)      Rasio/nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai dengan keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan modal yang disertakan .
3)      Penentuan proporsi keuntungan
Pendapat para ahli hukum Islam sebagai berikut:
a)      Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai dengan proporsi modal yang disertakan.
b)      Imam Ahmad berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan.
c)        Imam Abu Hanifa,  berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, proporsi keuntungan tidak boleh melebihi proporsi modalnya.
4)      Pembagian kerugian
Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa setiap mitra mananggung kerugian sesuai dengan porsi investasinya.
5)      Sifat modal
Sebagian besar ahli Hukum Islam berpendapat bahwa modal yang diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid. Hal ini berarti bahwa akad musyarakah hanya dapat dengan uang dan tidak dapat dengan komoditas. Dengan kata lain, bagian modal dari suatu perusahaan patungan harus dalam bentuk moneter (uang)
6)      Manajemen Musyarakah
Prinsip normal dari musyarakah bahwa setiap mitra mempunyai hak untuk ikut serta dalam manajemen dan bekerja untuk perusahaan patungan ini. Namun demikian, para mitra dapat pula sepakat bahwa manajemen perusahaan akan dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain tidak akan  menjadi bagian manajemen dar musyarakah.
Namun jika semua mitra sepakat untuk bekerja di perusahaan, masing-masing mitra harus diperlakuakan sebagai agen dari mitra lain dalam semua urusan usaha, dan semua pekerjaan yang dilakukan setiap mitra dalam keadaan yang normal harus disetujui semua mitra.
7)      Penghentian musyarakah
Musyarakah akan berakhir, jika salah satu peristiwa dibah ini terjadi:
a)      Setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja setelah menyampaikan pemberitahuan kepada mitra lain.
b)      Jika salah seorang mitra meninggal pada saat musyarakah masih berjalan. Ahli warisnya memiliki pilihan untuk menarik modalnya atau meneruskan kontrak musyarakahnya.
c)      Jika salag satu mitra hilang ingatan atau tidak mampu melakukan transaksi komersial, maka muyarakah berakhir.[5]
4.      Bentuk-bentuk musyarakah:
a.       Musyarakah Tetap
Yakni dimana jumlah porsi modal yang disertakan oleh masing-masing mitra tetap selam periode kontrak
b.       Musyarakah Menurun
Pada kerjasma ini, dua pihak bermitra untuk kepemilikan bersama suatu aset dalam bentuk properti, peralatan, perusahaan atau lainnya. Bagian aset pihak petama, sebagai modal, kemudian dibagi kedalam bebrapa unit dan disepakati bahwa pihak kedua sebagai klien akan membeli aset pada pihak pertama unit demi unit secara periodik sehingga akan meningkatkan bagian aset pihak kedua sampai semua unit milik pihak pertama terbeli semua dan aset sepenuhnya milik pihak kedua. Keuntungan yang dihasilka pada tiap-tiap periode dibagi sesuai porsi kepimilikan aset pihak masing-masing saat itu.
c.       Musyarakah Mutanaqisah
Salah satu bentuk musyarakah yang berkembang belakangan ini adlah musyarakah mutanaqisah, yaitu suatu penyertaan modal secara terbatas dari mitra usaha kepada perusahaan lainuntuk jangka waktu tertentu, yang dalam dunia modern biasa disebut Modal Ventura, tanpa unsur-unsur yang dilarang dalam syari’ah
5.      Aplikasi Musyarakah dalam Dunia Perbankan
Pembiayaan murabahah dalam perbankan merupakan suatu bentuk pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu produk dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya pada waktu jatuh tempo. Hal yang membedakan dengan jenis jual beli yang  lainnya adalah keharusan  memberitahukan harga pokok suatu barang kepada nasabah.
Dalam  hal ini bank membiayai pembelian suatu barang yang diperlukan boleh nasabah, dimana sistem pembayarannya dilakukan kemudian baik secara tunai maupun cicilan. Dalam pelaksanaannya, bank memberi kuasa kepada nasabah untuk tidak membeli barang yang diperlukanny aatas nama bank. Selanjutnya, pada saat yang bersamaan bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga asal ditambah dengan sejumlah keuntungan yang disepakati, dan dibayarkan oleh nasabah pada jangka waktu tertentu, sesuai dengan kesepakatan antara bank dan nasabah.
Biasanya pembiayaan  murabahah diberikan kepada nasabah untuk membuka letter of credit dan membelikan barang yang diperlukannya. Dalam pembelian barang tersebut, nasabah tidak harus menyediakan dana, karena pembiayaan seluruhnya ditanggung terlebih dahulu oleh bank.
C.  Mudharabah
1.    Penegertian Mudharabah
Pengertian mudharabah secara definisi adalah suatu bentuk perniagaan di mana pemilik modal ( shahibul maal ) menyetorkan modalnya kepada seorang pengusaha yang sering disebut dengan ( mudharib ), untuk diniagakan dengan keuntungan yang akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan terdapat kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal jika disebabkan olehnya, dan jika disebabkan oleh pengelola modal maka pengelola modal yang harus menanggung kerugian tersebut.
2.        Landasan Syari’ah Mudharabah
Pada dasarnya landasan dasar syari’ah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Landasannya tersebut terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
Al-Qur’an
... وءاخرون يضربون فى الأرض يبتغون من فضل الله ...
“… dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT …” (al-Muzzammil: 20)
Ayat-ayat yang senada masih banyak yang terdapat dalam al-Qur’an yang dipandang oleh para fuqoha sebagai basis dari yang diperbolehkannya mudharabah. Kandungan ayat-ayat di atas mencakup usaha mudharabah karena mudharabah

dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.
3.      Jenis-Jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
a.        Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara penyedia modal (shahibul maal) dan pengelola modal (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah yang akan digunakan untuk usahanya.
b.       Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah atau specified mydharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, yaitu mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usahanya. Dengan adanya pembatasan tersebut seringkali mencerminkan kecenderungan umum shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usahanya.
4.      Aplikasi Mudharabah dalam Dunia Perbankan
Mudharabah dalam perbankan syari’ah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Sedangkan pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada :
a.       Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, yaitu seperti tabungan haji, dan tabungan kurban, dan sebagainya;
b.      Diposito biasa dan special, diposito special (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah, khusus untuk bisnis tertentu, misalnya saja dalam murabahah ataupun ijarah saja.
Sedangkan pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk :
a.       Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
b.      Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
Mudharabah juga dapat dilakukan dengan memisahkan atau mencampurkan dana mudharabah. Seperti dalam penjelasan dibawah ini, yaitu:
a.       Dana harta-harta lainnya, Pemisahan total antara dana mudharabah termasuk harta mudharib.
Teknik ini memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari teknik ini ialah bahwa pendapatan dan biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan dapat dihitung dengan tepat. Selain itu, keuntungan atau kerugian dapat dihitung dan dialokasikan dengan benar. Sedangkan kekurangan teknik ini terutama menyangkut masalah moral hazard dan preferensi invertasi seorang mudharib.
b.      Dana mudharabah dicampur dan disatukan dengan sumber-sumber dana lainnya.
System ini menghilangkan munculnya masalah etika dan moral hazard seperti di atas, namun dalanm system ini pendapatan dan biaya mudharabah tercampur dengan pendapatan dan biaya lainnya.
















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pengertian akad secara  etimologi berarti perikatan perjanjian. Sedangkan secara terminolagi, pengertian akad adalah suatu perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqoda artinya mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-robath) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan  salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.





















DAFTAR PUSTAKA
Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah: Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2012.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Karim, Adiwarman A, Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan edisi 3, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.



[1] Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 282.
[2] Abdullah bin Muhammad at-Thayar, Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta: Maktabah al-hanif, 2009), hlm. 390.
[3] Ob.cit., hlm. 283
[4] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 52.
[5] Ibid., hlm. 53-58
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar