WADHI’AH,
MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH
Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bank
dan LKS
Dosen
Pengampu: Hotman, M.Esy
Oleh:
Kelompok VI
|
1. Arif Zulbahri (141258710)
2. Nyai Ayu Anggraeni Eknadi Putri (141270610)
3. Yogi Tansri Saputra (141275510)
PROGRAM STUDI STRATA SATU
PERBANKAN SYARIAH
(S1 PERBANKAN SYARIAH)
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI
ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam beberapa tahun belakangan ini,
perkembagan lembaga keuangan yang berlabel Syariah, Bank-bank Syariah sangatlah
pesat. Sehingga membuat Bank-bank konvensional ikut-ikutan terbawa arus dan
membuka UUS (Unit Usaha Syariah) yang manajemennya terpisah dengan induknya
yang berlandaskan konvensional.
Pada dasarnya Bank-bank syariah
ialah Bank atau lembaga keuangan yang berlandaskan prinsip Islam, yang mana
didalamnya bebas dari unsur-unsur Riba, Gharar, Judi, dan berbagai
transaksi-transaksi yang dilarang oleh hukum islam. Dalam mekanisme pelaksaan
kegiatan usaha bank syariah, untuk menghindari terjadinya unsur-unsur yang
dilarang dalam Islam, maka dalam mekanisme kegiatan usaha bank syariah, baik
dalam penghimpunan dan penyaluran dana. Terdapat berbagai macam akad,
diantaranya, akad Mudharabah, Musyarakah, Wadiah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah?
2.
Apa landasan hukum diperbolehkannya wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah?
3.
Apa saja masing-masing jenis dari wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah?
4.
Bagaimana aplikasi wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah dalam dunia perbankan Islam?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian dari wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah.
2.
Mengetahui landasan hukum tentang wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah.
3.
Dapat mengerti jenis-jenis wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah.
4.
Memahami aplikasi wadhi’ah, musyarakah, dan mudharabah dalam dunia perbankan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al – Wadhi’ah
1.
Pengertian Al –Whadi’ah
Dalam tradisi fiqih islam, prinsip titipan/simpanan
dikenal dengan prinsip wadi’ah. Al-wadhia’ah adalah titipan dari
satu pihak kepada pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat
bilamana orang yang titip mengambilnya.
2. Landasan
Hukum
Menitipkan
dan menerima titipan hukumnya jaiz (boleh). Bahkan disunnahkan bagi orang yang
dapat dipercaya dan mengetahui bahwa dirinya mampu menjaga barang titipan.
Dasarnya adalah Alqur’an, Hadist, dan Ijma’:
a. Dasar
Q.S An-Nisa : 58 yang artinya sebagai
berikut:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.[1]
b. Dasar
hadist, yaitu Hadist riwayat Abu Daud dan Tirmidzi sebagai berikut: “Sampaikanlah amanat kepada orang yang
memberi amanat kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang-orang yang
mengkhianatimu.”
c. Dasar
dari Ijma’ yaitu ulama sepakat diperbolehkannay wadhi’ah. Ia termasuk ibadah
sunnah. Dalam kitab Mubdi disebutkan:
“ijma’ dalam setiap masa memperbolehkan wadhi’ah. Dalam kitab Ishfah disebutkan : ulama sepakat bahwa
wadhi’ah termasuk ibadah sunnah dan menjaga barang titipan itu mendapatkan
pahala.[2]
3. Aplikasi
Wadhi’ah dalam Dunia Perbankan
Secara umum ada dua
jenis wadhi’ah yaitu:
1) Wadhi’ah yad al-amanah
Yang memiliki kriteria
sebagai berikut:
a) Harta
atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh
penerima titipan.
b) Penerima
titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban
untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.[3]
c) Sebagai
konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang
menitipkan.
d) Mengingat
barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima
titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa
penitipan (safe defosit box)
2) Wadhi’ah yad adh-dhamamah
Memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a) Harta
dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima
titipan.
b) Karena
dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima
titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
c) Produk
perbankan adalah yang sesuai dengan akad ini.
Prinsip Wadhi’ah yad adh-dhamamah inilah yang secara luas kemudian
diaplikasikan dalam dunia perbankan syari’ah dalam bentuk produk-produk perdana
yaitu:
1) Giro
(Current Account) Wadhi’ah
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah
simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek,
bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya atau dengan pemindahbukuan.
Adapun yang
dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan
secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
2) Tabungan
(Saving Account) Wadhi’ah
Tabungan
adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu
yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau
alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah
adalah tabungan yang dijalankan berdasar prinsip-prinsip syariah.Berdasarkan
Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan,
yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah
B. Al- Musyarakah
1. Pengertian
Al-Musyarakah
Yakni
kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau
kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan
nisbah.
2. Dasar
Hukum Musyarakah
Adapun
dalil sunnah adalah: Dari Abi Hurairah r.a yang rafa’kan kepada Nabi saw. bahwa
Nabi saw. bersabda, ”Sesungguhnya Allah
SWT berfirman, “Aku adalah orang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama
salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati temannay. Aku akan keluar dari
persekutuan tersebur apabila salah seorang mengkhianatinya.” (H.R Abu Dawud
dan hakim dan menasihkan sanadnya).
3. Rukun
dan syarat musyarakah:
a.
Rukun-rukun musyarakah adalah adanya:
1) Pelaku
akad, yaitu para mitra usaha
2) Objek
akad
3) Sighah,
yaitu ijab dan qabul.[4]
b. Syarat-syarat
musyarakah:
1) Syarat
akad:
a) Syarat
berlakunya akad (In’iqod)
b) Syarat
sahnya akad (shihah)
c) Syarat
terealisasinya akad (Nafadz)
d) Syarat
lazim yang harus di penuhi
2) Pembagian
proporsi keuntungan
Dalam
pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal-hal berikut:
a) Proporsi
yang dibagikan kepada mitra usaha harus disepakati di awal kontrak/akad.
b) Rasio/nisbah
keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai dengan
keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan
modal yang disertakan .
3) Penentuan
proporsi keuntungan
Pendapat
para ahli hukum Islam sebagai berikut:
a) Imam
Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi menurut
kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai dengan proporsi modal
yang disertakan.
b) Imam
Ahmad berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari proporsi
modal yang mereka sertakan.
c)
Imam Abu Hanifa, berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat
berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, proporsi
keuntungan tidak boleh melebihi proporsi modalnya.
4) Pembagian
kerugian
Para
ahli Hukum Islam sepakat bahwa setiap mitra mananggung kerugian sesuai dengan
porsi investasinya.
5) Sifat
modal
Sebagian
besar ahli Hukum Islam berpendapat bahwa modal yang diinvestasikan oleh setiap
mitra harus dalam bentuk modal likuid. Hal ini berarti bahwa akad musyarakah
hanya dapat dengan uang dan tidak dapat dengan komoditas. Dengan kata lain,
bagian modal dari suatu perusahaan patungan harus dalam bentuk moneter (uang)
6) Manajemen
Musyarakah
Prinsip
normal dari musyarakah bahwa setiap mitra mempunyai hak untuk ikut serta dalam
manajemen dan bekerja untuk perusahaan patungan ini. Namun demikian, para mitra
dapat pula sepakat bahwa manajemen perusahaan akan dilakukan oleh salah satu
dari mereka, dan mitra lain tidak akan
menjadi bagian manajemen dar musyarakah.
Namun
jika semua mitra sepakat untuk bekerja di perusahaan, masing-masing mitra harus
diperlakuakan sebagai agen dari mitra lain dalam semua urusan usaha, dan semua
pekerjaan yang dilakukan setiap mitra dalam keadaan yang normal harus disetujui
semua mitra.
7) Penghentian
musyarakah
Musyarakah
akan berakhir, jika salah satu peristiwa dibah ini terjadi:
a) Setiap
mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja setelah menyampaikan
pemberitahuan kepada mitra lain.
b) Jika
salah seorang mitra meninggal pada saat musyarakah masih berjalan. Ahli
warisnya memiliki pilihan untuk menarik modalnya atau meneruskan kontrak
musyarakahnya.
c) Jika
salag satu mitra hilang ingatan atau tidak mampu melakukan transaksi komersial,
maka muyarakah berakhir.[5]
4. Bentuk-bentuk
musyarakah:
a. Musyarakah
Tetap
Yakni
dimana jumlah porsi modal yang disertakan oleh masing-masing mitra tetap selam
periode kontrak
b. Musyarakah Menurun
Pada
kerjasma ini, dua pihak bermitra untuk kepemilikan bersama suatu aset dalam
bentuk properti, peralatan, perusahaan atau lainnya. Bagian aset pihak petama,
sebagai modal, kemudian dibagi kedalam bebrapa unit dan disepakati bahwa pihak
kedua sebagai klien akan membeli aset pada pihak pertama unit demi unit secara
periodik sehingga akan meningkatkan bagian aset pihak kedua sampai semua unit
milik pihak pertama terbeli semua dan aset sepenuhnya milik pihak kedua.
Keuntungan yang dihasilka pada tiap-tiap periode dibagi sesuai porsi
kepimilikan aset pihak masing-masing saat itu.
c. Musyarakah
Mutanaqisah
Salah
satu bentuk musyarakah yang berkembang belakangan ini adlah musyarakah
mutanaqisah, yaitu suatu penyertaan modal secara terbatas dari mitra usaha
kepada perusahaan lainuntuk jangka waktu tertentu, yang dalam dunia modern
biasa disebut Modal Ventura, tanpa unsur-unsur yang dilarang dalam syari’ah
5. Aplikasi
Musyarakah dalam Dunia Perbankan
Pembiayaan
murabahah dalam perbankan merupakan suatu bentuk pembiayaan berupa talangan
dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu produk dengan kewajiban
mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya pada waktu jatuh tempo. Hal
yang membedakan dengan jenis jual beli yang
lainnya adalah keharusan
memberitahukan harga pokok suatu barang kepada nasabah.
Dalam hal ini bank membiayai pembelian suatu barang
yang diperlukan boleh nasabah, dimana sistem pembayarannya dilakukan kemudian
baik secara tunai maupun cicilan. Dalam pelaksanaannya, bank memberi kuasa
kepada nasabah untuk tidak membeli barang yang diperlukanny aatas nama bank.
Selanjutnya, pada saat yang bersamaan bank menjual barang tersebut kepada
nasabah dengan harga asal ditambah dengan sejumlah keuntungan yang disepakati,
dan dibayarkan oleh nasabah pada jangka waktu tertentu, sesuai dengan
kesepakatan antara bank dan nasabah.
Biasanya
pembiayaan murabahah diberikan kepada
nasabah untuk membuka letter of credit dan membelikan barang yang
diperlukannya. Dalam pembelian barang tersebut, nasabah tidak harus menyediakan
dana, karena pembiayaan seluruhnya ditanggung terlebih dahulu oleh bank.
C. Mudharabah
1. Penegertian
Mudharabah
Pengertian
mudharabah secara definisi adalah suatu bentuk perniagaan di mana pemilik modal
( shahibul maal ) menyetorkan modalnya kepada seorang pengusaha yang sering
disebut dengan ( mudharib ), untuk diniagakan dengan keuntungan yang akan
dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan
terdapat kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal jika disebabkan olehnya,
dan jika disebabkan oleh pengelola modal maka pengelola modal yang harus
menanggung kerugian tersebut.
2.
Landasan
Syari’ah Mudharabah
Pada
dasarnya landasan dasar syari’ah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha. Landasannya
tersebut terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
Al-Qur’an
... وءاخرون يضربون فى الأرض يبتغون من فضل
الله ...
“… dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah SWT …” (al-Muzzammil: 20)
Ayat-ayat yang senada masih banyak yang terdapat dalam al-Qur’an yang
dipandang oleh para fuqoha sebagai basis dari yang diperbolehkannya mudharabah.
Kandungan ayat-ayat di atas mencakup usaha mudharabah karena mudharabah
dilaksanakan
dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari
keutamaan Allah.
3. Jenis-Jenis
Mudharabah
Secara umum, mudharabah
terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
a. Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja
sama antara penyedia modal (shahibul maal) dan pengelola modal (mudharib) yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu,
dan daerah yang akan digunakan untuk usahanya.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah
atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah atau specified
mydharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, yaitu mudharib
dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usahanya. Dengan adanya pembatasan tersebut seringkali
mencerminkan kecenderungan umum shahibul maal dalam memasuki jenis dunia
usahanya.
4. Aplikasi Mudharabah dalam Dunia Perbankan
Mudharabah
dalam perbankan syari’ah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan
pendanaan. Sedangkan pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada
:
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan
untuk tujuan khusus, yaitu seperti tabungan haji, dan tabungan kurban, dan
sebagainya;
b. Diposito biasa dan special, diposito special (special
investment), dimana dana yang dititipkan nasabah, khusus untuk bisnis tertentu,
misalnya saja dalam murabahah ataupun ijarah saja.
Sedangkan
pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk
:
a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja
perdagangan dan jasa;
b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah,
dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat
yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
Mudharabah
juga dapat dilakukan dengan memisahkan atau mencampurkan dana mudharabah.
Seperti dalam penjelasan dibawah ini, yaitu:
a. Dana harta-harta lainnya, Pemisahan total antara dana
mudharabah termasuk harta mudharib.
Teknik ini
memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari teknik ini ialah bahwa
pendapatan dan biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan dapat
dihitung dengan tepat. Selain itu, keuntungan atau kerugian dapat dihitung dan
dialokasikan dengan benar. Sedangkan kekurangan teknik ini terutama menyangkut
masalah moral hazard dan preferensi invertasi seorang mudharib.
b. Dana mudharabah dicampur dan disatukan dengan
sumber-sumber dana lainnya.
System ini
menghilangkan munculnya masalah etika dan moral hazard seperti di atas, namun
dalanm system ini pendapatan dan biaya mudharabah tercampur dengan pendapatan
dan biaya lainnya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian akad secara etimologi berarti perikatan perjanjian.
Sedangkan secara terminolagi, pengertian akad adalah suatu perikatan yang
ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang menimbulkan
akibat hukum terhadap objeknya.
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqoda artinya
mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat.
Dikatakan ikatan (al-robath) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua
ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya, hingga
keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
DAFTAR
PUSTAKA
Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah: Fiqh Muamalah, Jakarta:
Kencana, 2012.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek,
Jakarta: Gema Insani, 2001.
Karim, Adiwarman A, Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan edisi 3, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Karim, Adiwarman A, Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan edisi 3, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
[1] Mardani,
Fiqh Ekonomi Syari’ah, (Jakarta:
Kencana, 2012), hlm. 282.
[2] Abdullah
bin Muhammad at-Thayar, Ensiklopedi Fiqh
Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta: Maktabah al-hanif, 2009),
hlm. 390.
[3] Ob.cit.,
hlm. 283
[4] Ascarya,
Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 52.
[5] Ibid.,
hlm. 53-58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar