Jumat, 24 Juni 2016

QAWAID FIQIYAH dan KAIDAH-KAIDAH FIQIYAH



QAWAID FIQIYAH dan KAIDAH-KAIDAH FIQIYAH
Makalah ini disusun guna untuk memenuhi nilai UTS Mata Kuliah Qowaid Fiqiyah
Dosen Pengampu :
Dr. Andi Ali Akbar





DI SUSUN OLEH :
ARIF ZULBAHRI
NPM. 141258710

PROGRAM STUDI STARATA SATU PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO – LAMPUNG
TAHUN 1436 H/2016 M

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya lah makalah ini dapat selesai pada tepat waktunya. Makalah ini penulis buat sebagai nilai UTS pada mata kuliah Qawaid Fiqiyah. Salawat serta salam tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang menjadi tauladan bagi kita semua. Dalam pembahasan ini penulis fokus menelaah tentang “ Qawaid Fiqiyah, Ushul Fiqh dan Kaidah-Kaidah Fiqiyah” sebagai bantuan para pembaca untuk memudahkan melihat sumber informasi yang dibutuhkan.
Dalam pembahasan ini penulis tidak secara langsung meneliti materi ini, tetapi mendapat pengetahuan dari buku, artikel-artikel, dan internet. Maka dari itu, apa yang penulis sajikan ini dapat diterima atau dipahami oleh pembaca, karena penulis merasa isi dari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah yang akan datang

Metro, 16 Maret 2016

  Penyusun








DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................      i
KATA PENGANTAR.........................................................................      ii
DAFTAR ISI.........................................................................................      iii
BAB I  PENDAHULUAN                                                       
A.    Latar Belakang ...........................................................................      1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................      1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qawaid Fiqiyah.........................................................      2
B.     Contoh Qawaid Fiqiyah .............................................................      3
C.     Pengertian Qawaid Ushul Fiqh...................................................      4
D.    Contoh Qawaid Ushul Fiqh........................................................      5
E.     Kaidah-kaidah Pokok Fiqiyah.....................................................      5
F.      Kaidah-kaidah cabang Fiqiyah....................................................      7
BAB III PENUTUPAN
Kesimpulan..................................................................................      16
DAFTAR PUSTAKA  .........................................................................      17






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari beragam macamnya. Tentunya ini menghasurkan kita agar mencari jalan keluar untuk penyelesaiinya, maka disusunlah kaidah secara umum yang dikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap penyelesaian masalah-masalah yang mucul ditengah-tengah kehidupan ini.
Seperti pada pembahasan kali ini terdapat kaidah fiqh (qawaid fiqiyah) merupakan kaidah yang bersifat umum dan biasa digunakan untuk menyelesakan permasalahan yang bersifat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kaidah ini menggolongkan masalah-masalah yang serupa menjadi satu kaidah fiqh ini tentunya bersumber dari Al Qura’an dan As sunnah yang merupakan terciptanya hukum-hukum islam. Dengan adanya qawaid fiqiyah ini tentunya mempermudah kita dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perbuatan manusia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu qawaid fiqiyah?
2.      Apa itu qawaid ushul fiqh?
3.      Bagimana kaidah-kaidah pokok fiqh ?
4.      Bagimana kaidah-kaidah cabang fiqh?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qawaid Fiqiyah
Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah :
القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i  yang banyak”[1]
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi :
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan”[2]
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki :
الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu”[3]
       Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.[4]
Maka Al Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara etimologi adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih. Sedangkan Al Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya didalam nash.

B.     Contoh Qawaid Fiqiyah
Kaidah-kaidah fiqhiyah mempunyai implementasi dan contoh penerapan yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun mu’amalah (intraksi antara sesama manusia). Diantara contohnya. Apabila seseorang mewakafkan tanah dengan mengatakan, “Tanah ini saya wakafkan untuk orang-orang fakir”. Maka konsekuensi dari perkataan ini adalah yang berhak memanfaatkan tanah wakaf tersebut hanyalah orang-orang yang tergolong fakir, tidak selainnya. Karena dalam perkataan tersebut ada pengikatnya secara khusus, sehingga harus diterapkan sesuai dengan ikatannya tersebut. Ini adalah contoh pengikat dan menyebutkan sifat. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk Ahmad dan Zaid, dengan perincian, Ahmad dua pertiga dan Zaid sepertiga”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk anak-anak Ahmad kecuali anak yang fasik”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut. Contoh tersebut merupakan penerapan dari salah satu Qawa’id Fiqhiyah yang berbunyi: “Memahami Keumuman Dan Kekhususan Sebuah Kalimat”

C.    Pengertian Qawaid Ushul Fiqh
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a.       Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b.      Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)’
c.       Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d.      Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e.       Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali).
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.

D.    Contoh Qaidah Ushuliyyah
Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan beberapa qaidah ushuliyyah :
a.       Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang
b.      Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”
c.       Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit (terang, tegas)”
d.      Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir”
e.       Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya
f.       ”Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”

E.     Kaidah Pokok Qawaid Fiqiyah
1)      الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasikan terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut[5]
Tujuan utama disyariatkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh: Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تَمُوتَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ كِتَٰبٗا مُّؤَجَّلٗاۗ وَمَن يُرِدۡ ثَوَابَ ٱلدُّنۡيَا نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَا وَمَن يُرِدۡ ثَوَابَ ٱلۡأٓخِرَةِ نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَاۚ وَسَنَجۡزِي ٱلشَّٰكِرِينَ ١٤٥
”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145)

2)      المشقة تجلب التيسير (Kesukaran mendatangkan kemudahan)
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran[6].
Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”(Q.S Al Baqarah : 185)
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨
 “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”(QS. An-Nisa: 28)
F.     Kaidah-Kaidah Cabang
1)      Jual Beli Gharar
a)      Pengertian Gharar
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan)[7]. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah)[8]. Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian[9]
Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian[10]
b)      Hukum Gharar
Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi :
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”[11]
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya :
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Al-Baqarah / 2 : 188)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini[12]. Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Al-Maidah / 5 : 90]

c)      Jenis Gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
Pertama : Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan ternak).
Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang : “Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah”, tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : “Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Ketiga : Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri[13]. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.
Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar. Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya[14].
d)     Gharar yang diperbolehkan
a.       Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).
b.      Desepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
c.       Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.

2)      Riba
a)      Pengertian Riba
Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
a.       Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
b.      Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
c.       Berlebihan atau menggelembung[15]
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al Mali ialah: “Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui pertimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak salah satu keduanya.
Sedangkan menurut terminologi syara’, riba berarti: “Akad untuk satu ganti khusus tanpa diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya”[16].
Dengan demikian, riba menurut istilah ahli fiqih adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba didalamnya hanya saja tambahan yang diistilahkan dengan nama “riba” dan Al-Quran datang menerangkan pengharamannya adalah tambahan tempo[17]
b)      Dasar-dasar Hukum Riba
Al-Quran menyinggung keharaman rba secara kronologis diberbagai tempat. Pada periode Mekkah turun firman Allah swt. Dalm surat Ar-Ruum ayat 39 :
وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ ٣٩
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (Q.S Ar-Rum : 39)
        Pada periode Madinah turun ayat yang seccara jelas dan tegas tentang keharaman riba, terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 130 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٣٠
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Q.S Ali Imran: 130)
        Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram, termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan.
        Dalam hadist lain keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan riba sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Muslim :
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)

c)      Macam-macam Riba
Riba bisa diklasifikasikan menjadi tiga: Riba Al-Fadl, riba Al-yadd, dan riba An-nasi’ah, riba Qardhi, Berikut penjelasan lengkap macam-macamnya :
a.       Riba Al-Fadhl
Riba Al-Fadhl adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara tukar menukar benda-benda sejenis dengan tidak sama ukurannya, seperti satu gram emas dengan seperempat gram emas,maupun perak dengan perak[18]. Hal ini sesuai dengan hadist nabi saw. sebagai berikut :
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah)

b.      Riba Al-Yadd
Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak[19].
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
                       
c.       Riba An-Nasi’ah
Riba Nasi’ah, adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa :
عَنْ سَمَرَةِ بْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”
d.      Riba Qardhi
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah). Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).

3)      Bai’ Al-Dayn (Jual Beli Hutang)
a)      Pengertian Bai’ Al-Dayn (Jual Beli Hutang)
Bai’ al-Dayn adalah akad jual beli ketika yang diperjual belikan adalah dayn atau hutang. Dayn dapat diperjual belikan dengan harga yang sama, tetapi sebahagian besar ulama Fuqaha berpendapat bahwa jual beli dayn atau hutang dengan diskon tidak dibolehkan secara syariah[20].
Menurut takrifan ulama ialah; suatu tanggungan harta (hutang) yang ditanggung oleh seseorang terhadap orang lain samada ia adalah hasil daripada suatu akad (kontrak) atau disebabkan oleh kerosakan (gantirugi) atau kerana pinjaman ( qardh).
Dayn, menurut perundangan Islam, mencakupi ruang lingkup yang luas; iaitu bayaran kepada harga barangan, bayaran kepada qardh (hutang), bayaran mahr (mas kahwin) selepas isteri disetubuhi atau sebelumnya; yakni mahar yang belum dibayar selepas akad nikah, bayaran ke atas sewa, ganti rugi yang mesti dibayar kerana jenayah ( arsy ), ganti rugi ke atas kerosakan yang dilakukan, jumlah wang yang mesti dibayar kerana tebus talak ( khulu' ) dan barangan pesanan yang belum sampai ( muslam fih )[21]
Bai’ al-dayn atau bai’ nasiah bi nasiah atau Nabi SAW sering menyebutnya bai’ kaly bi kaly adalah menjual hutang dengan hutang, membeli barang dengan hutang dan uangnya juga hasil hutang . Bai’ al-dayn adalah akad penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan menerbitkan surat hutang dagang atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Pembiayaan ini bersifat jangka pendek (kurang dari satu tahun) dan hanya mencakup surat-surat berharga yang memiliki nilai rating investasi yang baik.
b)      Contoh jual hutang dengan hutang
Jual hutang dengan hutang juga boleh berlaku samada hutang tersebut dijual kepada penghutang atau kepada pihak ketiga :
a.       Contoh jual hutang dengan hutang kepada pihak ketiga
Contoh jual hutang dengan hutang kepada pihak ketiga ialah seperti A berkata kepada B, saya menjual 10 kilogram gandum yang menjadi tanggungan hutang C terhadapku kepada engkau dengan nilai Rp. 500 ribu yang akan dibayar oleh engkau kepadaku secara tangguh. Cara ini ulama menyifatkan sebagai "bai` al-dayn bi al-dayn"





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih. Sedangkan Al Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya didalam nash.
Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Kaidah-kaidah cabang fiqh yaitu Gharar, riba dan Bai Al-Dayn. Jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan pertaruhan, atau perjudian. Bai’ al-Dayn adalah akad jual beli ketika yang diperjual belikan adalah dayn atau hutang. Riba adalah adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini.














DAFTAR PUSTAKA

            Syafe’i, Prof. DR. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih (Penerbit Pustaka Setia, Bandung. 2007)
            Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washi. 2009. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta : Amzah.
                      Ade Dedi Rohayana,  Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: GayaMedia Pratama, 2008)
                 Djazuli, Prof. H.A, Kaidah-Kaidah Fikih (Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2006).









[1] Ahmad Muhammad Asy-SyafiiUshul Fiqh Al-Islami, Iskandariyah Muassasah Tsaqofah Al-Jamiiyah .1983. Hal 4
[2] Hasbi As-SiddiqyPengantar Hukum Islam, Jakarta:  Bulan Bintang 1975. Hal 25
[3] Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan Bintang. 1976.  Hal 11
[4] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, Hal. 13
[5] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 6
[6] Ibid., Hal 10
[7] Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648
[8] Majmu Fatawa, 29/22
[9] Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail. Hal.164
[10] Al-Waaji Fi Fiqhu Sunnah wa kitab Al-Aziz, Abdul Azhim Badawi, Cet. I, Th.1416H, Dar Ibnu Rajab, Hal. 332
[11] HR Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi Gharar, 1513
[12] Majmu Fatawa, 29/22
[13] Catatan Penulis dari pelajaran Nailul Authar yang dismpaikan Syaikh Abdulqayyum bin Muhammad As-Sahibaani di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, Lihat juga Al-Fiqhu Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayaar, Prof. Dr Abdullah bin Muhammad Al-Muthliq dan Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cet. I Th. 1425H, hal. 34
[14] Catatan penulis dari pelajaran Bidayatul Mujtahid, oleh Syaikh Hamd Al-Hamaad, di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, KSA
[15] Prof.Dr.H.Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2005). hlm. 57
[16] Prof.Dr.Abdul Aziz Muhammad Azim, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010).  Hlm.216
[17] Ibid., hlm. 217
[18] Prof.Dr.H.Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk.Fiqh Muamalat.(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2010).hlm. 220
[19] Ibid., hlm. 220
[20] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.191

1 komentar: