QAWAID FIQIYAH
dan KAIDAH-KAIDAH FIQIYAH
Makalah ini disusun guna untuk memenuhi nilai UTS
Mata Kuliah Qowaid Fiqiyah
Dosen Pengampu :
Dr. Andi Ali Akbar
DI SUSUN OLEH :
ARIF ZULBAHRI
NPM.
141258710
PROGRAM STUDI
STARATA SATU PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
– LAMPUNG
TAHUN 1436
H/2016 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya lah
makalah ini dapat selesai pada tepat waktunya. Makalah ini penulis buat sebagai
nilai UTS pada mata kuliah Qawaid Fiqiyah. Salawat serta salam tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang menjadi tauladan bagi kita semua.
Dalam pembahasan ini penulis fokus menelaah tentang “ Qawaid Fiqiyah, Ushul Fiqh dan Kaidah-Kaidah Fiqiyah” sebagai
bantuan para pembaca untuk memudahkan melihat sumber informasi yang dibutuhkan.
Dalam pembahasan ini
penulis tidak secara langsung meneliti materi ini, tetapi mendapat pengetahuan
dari buku, artikel-artikel, dan internet. Maka dari itu, apa yang penulis
sajikan ini dapat diterima atau dipahami oleh pembaca, karena penulis merasa
isi dari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah
yang akan datang
Metro, 16 Maret 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah....................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Qawaid Fiqiyah......................................................... 2
B. Contoh
Qawaid Fiqiyah ............................................................. 3
C. Pengertian
Qawaid Ushul Fiqh................................................... 4
D. Contoh
Qawaid Ushul Fiqh........................................................ 5
E. Kaidah-kaidah
Pokok Fiqiyah..................................................... 5
F. Kaidah-kaidah
cabang Fiqiyah.................................................... 7
BAB III PENUTUPAN
Kesimpulan.................................................................................. 16
DAFTAR
PUSTAKA ......................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari
beragam macamnya. Tentunya ini menghasurkan kita agar mencari jalan keluar
untuk penyelesaiinya, maka disusunlah kaidah secara umum yang dikuti
cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan
kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan
terhadap penyelesaian masalah-masalah yang mucul ditengah-tengah kehidupan ini.
Seperti pada pembahasan kali ini terdapat kaidah
fiqh (qawaid fiqiyah) merupakan kaidah yang bersifat umum dan biasa digunakan
untuk menyelesakan permasalahan yang bersifat praktis dalam kehidupan
sehari-hari. Kaidah ini menggolongkan masalah-masalah yang serupa menjadi satu
kaidah fiqh ini tentunya bersumber dari Al Qura’an dan As sunnah yang merupakan
terciptanya hukum-hukum islam. Dengan adanya qawaid fiqiyah ini tentunya
mempermudah kita dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perbuatan
manusia.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu qawaid fiqiyah?
2. Apa itu qawaid ushul fiqh?
3. Bagimana kaidah-kaidah pokok fiqh ?
4. Bagimana kaidah-kaidah cabang fiqh?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qawaid Fiqiyah
Dalam pengertian ini ada dua
terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid
merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal
dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan
terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan
bahwa kaidah adalah :
القضايا الكلية التى
يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang bersifat universal
(kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak”[1]
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut
al-Jurjani al-Hanafi :
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها
التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
”ilmu yang
menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya
yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan
perenungan”[2]
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun
fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki :
الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian
dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat
itu”[3]
Menurut
Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang
bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum
syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang
lingkup kaidah tersebut.[4]
Maka Al Qawaid
al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara etimologi adalah dasar-dasar atau
asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih.
Sedangkan Al Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang
disimpulkan secara general dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk
menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya
didalam nash.
B.
Contoh Qawaid
Fiqiyah
Kaidah-kaidah
fiqhiyah mempunyai implementasi dan contoh penerapan yang cukup banyak, baik
berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun mu’amalah (intraksi antara sesama
manusia). Diantara contohnya. Apabila seseorang mewakafkan tanah dengan
mengatakan, “Tanah ini saya wakafkan untuk orang-orang fakir”. Maka konsekuensi
dari perkataan ini adalah yang berhak memanfaatkan tanah wakaf tersebut
hanyalah orang-orang yang tergolong fakir, tidak selainnya. Karena dalam
perkataan tersebut ada pengikatnya secara khusus, sehingga harus diterapkan
sesuai dengan ikatannya tersebut. Ini adalah contoh pengikat dan menyebutkan
sifat. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk Ahmad
dan Zaid, dengan perincian, Ahmad dua pertiga dan Zaid sepertiga”. Konsekuensi
dari perkataan ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah
ditentukan tersebut. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya
ini untuk anak-anak Ahmad kecuali anak yang fasik”. Konsekuensi dari perkataan
ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan
tersebut. Contoh tersebut merupakan penerapan dari salah satu Qawa’id Fiqhiyah
yang berbunyi: “Memahami Keumuman Dan Kekhususan Sebuah Kalimat”
C.
Pengertian Qawaid Ushul Fiqh
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl
dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi
sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti
pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat
lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi
sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima
ushul (dasar atau fondasi)’
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti
dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan)
suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat
dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang
sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya,
seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau
ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada
berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap
mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari
ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali).
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah
dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh,
universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah
merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya
berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi
sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber
hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk
mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
D.
Contoh Qaidah
Ushuliyyah
Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan
beberapa qaidah ushuliyyah :
a. “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka
didahulukan dalil yang melarang”
b. “Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”
c. “Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila bertentangan
dengan makna eksplisit (terang, tegas)”
d.
“Petunjuk nash
didahulukan daripada petunjuk zahir”
e. “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”
f.
”Perintah
terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”
E.
Kaidah Pokok
Qawaid Fiqiyah
1)
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا (Segala sesuatu
bergantung pada tujuannya)
Pengertian
kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasikan terhadap suatu perkara yang timbul
dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada
maksud dan tujuan dari perkara tersebut[5]
Tujuan utama
disyariatkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah
dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh:
Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak
bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga
dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan
yang namnya niat.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat
al-Qur’an yang berbunyi:
وَمَا
كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تَمُوتَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ كِتَٰبٗا مُّؤَجَّلٗاۗ وَمَن
يُرِدۡ ثَوَابَ ٱلدُّنۡيَا نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَا وَمَن يُرِدۡ ثَوَابَ ٱلۡأٓخِرَةِ
نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَاۚ وَسَنَجۡزِي ٱلشَّٰكِرِينَ ١٤٥
”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami
berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145)
2)
المشقة تجلب التيسير (Kesukaran
mendatangkan kemudahan)
Makna
dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan
kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya,
sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran[6].
Contoh:
Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan tersebut sudah sampai
pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat
tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita
tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang
yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai
pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila
harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut.
Dasar kaidah ini para
ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”(Q.S Al
Baqarah : 185)
يُرِيدُ
ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨
“Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah.”(QS. An-Nisa: 28)
F.
Kaidah-Kaidah Cabang
1)
Jual Beli
Gharar
a) Pengertian
Gharar
Menurut
bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan)[7].
Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak
jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah)[8].
Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan)
dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian[9]
Sehingga
, dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar
adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau
perjudian[10]
b) Hukum
Gharar
Dalam
syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi :
صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli
gharar”[11]
Dalam
sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara
batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil
sebagaimana tersebut dalam firmanNya :
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui” (Al-Baqarah / 2 : 188)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah
larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan
batil. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang
jual beli gharar ini[12].
Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam
firman Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Al-Maidah / 5 : 90]
c) Jenis
Gharar
Dilihat
dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
Pertama : Jual-beli barang yang belum
ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan ternak).
Kedua : Jual beli barang yang tidak
jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang : “Saya menjual
barang dengan harga seribu rupiah”, tetapi barangnya tidak diketahui secara
jelas, atau seperti ucapan seseorang : “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan
harga sepuluh juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga
karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : “Aku jual tanah
kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Ketiga
: Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak
yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri[13].
Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.
Ketidak
jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar.
Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas.
Adapun ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila
kontan dan 20 Dinar bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya
sebagai pembayarannya[14].
d) Gharar
yang diperbolehkan
a. Yang
disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada
wujudnya (ma’dum).
b. Desepakati
kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan
ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena
kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
c. Gharar
yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau
kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti
wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.
2)
Riba
a) Pengertian
Riba
Riba
menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
a. Bertambah,
karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang
dihutangkan.
b. Berkembang,
berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau
yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
c. Berlebihan
atau menggelembung[15]
Sedangkan
menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al Mali ialah: “Akad yang
terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui pertimbangannya
menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua
belah pihak salah satu keduanya.
Sedangkan
menurut terminologi syara’, riba berarti: “Akad untuk satu ganti khusus tanpa
diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama
dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya”[16].
Dengan
demikian, riba menurut istilah ahli fiqih adalah penambahan pada salah satu
dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak semua
tambahan dianggap riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan
dan tidak ada riba didalamnya hanya saja tambahan yang diistilahkan dengan nama
“riba” dan Al-Quran datang menerangkan pengharamannya adalah tambahan tempo[17]
b) Dasar-dasar
Hukum Riba
Al-Quran
menyinggung keharaman rba secara kronologis diberbagai tempat. Pada periode
Mekkah turun firman Allah swt. Dalm surat Ar-Ruum ayat 39 :
وَمَآ
ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ
عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ
فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ ٣٩
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)” (Q.S Ar-Rum : 39)
Pada periode Madinah
turun ayat yang seccara jelas dan tegas tentang keharaman riba, terdapat dalam
surat Ali-Imran ayat 130 :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ
ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٣٠
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan” (Q.S Ali Imran: 130)
Dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram,
termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan.
Dalam hadist lain keharaman riba bukan
hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak yang membantu terlaksananya
perbuatan riba sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Muslim :
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ,
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan
riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua
sama”. (HR Muslim)
c) Macam-macam
Riba
Riba
bisa diklasifikasikan menjadi tiga: Riba Al-Fadl, riba Al-yadd, dan riba
An-nasi’ah, riba Qardhi, Berikut penjelasan lengkap macam-macamnya :
a. Riba
Al-Fadhl
Riba
Al-Fadhl adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara tukar
menukar benda-benda sejenis dengan tidak sama ukurannya, seperti satu gram emas
dengan seperempat gram emas,maupun perak dengan perak[18]. Hal
ini sesuai dengan hadist nabi saw. sebagai berikut :
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا
بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas
dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal;
barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah
riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah)
b. Riba
Al-Yadd
Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad
jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang
membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan
berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak[19].
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas
dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba
kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan
dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan
kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
c. Riba
An-Nasi’ah
Riba Nasi’ah, adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang
yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan
(penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,-
kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh
tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi
memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain,
si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda
dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa :
عَنْ سَمَرَةِ بْنِ
جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ
الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً
“Dari
Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli
hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan
dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”
d. Riba
Qardhi
Riba
Qardhi adalah riba
yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan
syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang.
Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta)
kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu
rupiah). Terhadap bentuk
transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda
Rasulullah Saw :
كُلُّ قَرْضٍ
جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا
“Semua
piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).
3) Bai’ Al-Dayn
(Jual Beli Hutang)
a)
Pengertian Bai’ Al-Dayn
(Jual Beli Hutang)
Bai’ al-Dayn adalah akad jual beli ketika yang
diperjual belikan adalah dayn atau hutang. Dayn dapat diperjual belikan dengan
harga yang sama, tetapi sebahagian besar ulama Fuqaha berpendapat bahwa jual
beli dayn atau hutang dengan diskon tidak dibolehkan secara syariah[20].
Menurut takrifan ulama ialah; suatu tanggungan harta
(hutang) yang ditanggung oleh seseorang terhadap orang lain samada ia adalah
hasil daripada suatu akad (kontrak) atau disebabkan oleh kerosakan (gantirugi)
atau kerana pinjaman ( qardh).
Dayn, menurut perundangan Islam,
mencakupi ruang lingkup yang luas; iaitu bayaran kepada harga barangan, bayaran
kepada qardh (hutang), bayaran mahr (mas kahwin) selepas isteri
disetubuhi atau sebelumnya; yakni mahar yang belum dibayar selepas akad nikah,
bayaran ke atas sewa, ganti rugi yang mesti dibayar kerana jenayah ( arsy
), ganti rugi ke atas kerosakan yang dilakukan, jumlah wang yang mesti dibayar
kerana tebus talak ( khulu' ) dan barangan pesanan yang belum sampai ( muslam
fih )[21]
Bai’ al-dayn atau bai’ nasiah bi nasiah atau Nabi SAW
sering menyebutnya bai’ kaly bi kaly adalah menjual hutang dengan hutang,
membeli barang dengan hutang dan uangnya juga hasil hutang . Bai’ al-dayn
adalah akad penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan menerbitkan surat
hutang dagang atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah disepakati
terlebih dahulu. Pembiayaan ini bersifat jangka pendek (kurang dari satu tahun)
dan hanya mencakup surat-surat berharga yang memiliki nilai rating investasi
yang baik.
b) Contoh jual hutang dengan hutang
Jual hutang dengan
hutang juga boleh berlaku samada hutang tersebut dijual kepada penghutang atau
kepada pihak ketiga :
a. Contoh jual
hutang dengan hutang kepada pihak ketiga
Contoh jual hutang
dengan hutang kepada pihak ketiga ialah seperti A berkata kepada B, saya
menjual 10 kilogram gandum yang menjadi tanggungan hutang C terhadapku kepada
engkau dengan nilai Rp. 500 ribu yang akan dibayar oleh engkau kepadaku secara
tangguh. Cara ini ulama menyifatkan
sebagai "bai` al-dayn bi al-dayn"
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al
Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah dasar-dasar atau asas-asas
yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih. Sedangkan Al
Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan
secara general dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan
hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya didalam nash.
Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali
hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah
lafazh atau kebahasaan.
Kaidah-kaidah
cabang fiqh yaitu Gharar, riba dan Bai Al-Dayn. Jual beli gharar adalah, semua
jual beli yang mengandung ketidakjelasan pertaruhan, atau perjudian. Bai’
al-Dayn adalah akad jual beli ketika yang diperjual belikan adalah dayn
atau hutang. Riba adalah adalah
penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari
tambahan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i,
Prof. DR. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih (Penerbit Pustaka Setia, Bandung. 2007)
Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washi. 2009.
Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta : Amzah.
Ade Dedi Rohayana, Ilmu
Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: GayaMedia Pratama, 2008)
Djazuli, Prof. H.A, Kaidah-Kaidah Fikih (Kencana Prenada Media
Group, Jakarta. 2006).
[1] Ahmad
Muhammad Asy-Syafii, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandariyah
Muassasah Tsaqofah Al-Jamiiyah .1983. Hal 4
[5] Nashr Farid Muhammad Washil dan
Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah,
Amzah, 2009, hal. 6
[6] Ibid., Hal 10
[9] Bahjah
Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar,
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M,
Dar Al-Jail. Hal.164
[10] Al-Waaji
Fi Fiqhu Sunnah wa kitab Al-Aziz, Abdul Azhim Badawi, Cet. I, Th.1416H, Dar
Ibnu Rajab, Hal. 332
[13] Catatan
Penulis dari pelajaran Nailul Authar yang dismpaikan Syaikh Abdulqayyum bin
Muhammad As-Sahibaani di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, Lihat juga
Al-Fiqhu Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah, karya Prof. Dr. Abdullah bin
Muhammad Ath-Thayaar, Prof. Dr Abdullah bin Muhammad Al-Muthliq dan Dr Muhammad
bin Ibrahim Alimusaa, Cet. I Th. 1425H, hal. 34
[14] Catatan
penulis dari pelajaran Bidayatul Mujtahid, oleh Syaikh Hamd Al-Hamaad, di
Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, KSA
[18] Prof.Dr.H.Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk.Fiqh Muamalat.(Jakarta:Kencana
Prenada Media Group,2010).hlm. 220
Terima kasih. Semoga bermanfaat
BalasHapus