Jumat, 24 Juni 2016

TAFSIR AYAT AHRKAM PERJANJIAN



TAFSIR AYAT AHRKAM PERJANJIAN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Ekonomi dan Perbankan
Dosen Pengampu  : Dr. Tobibatussaadah. M.Ag

 



DI SUSUN OLEH :

1.    ANA HARDIAN                             (141257810)
2.    ARIF ZULBAHRI                          (141258710)
3.    MUHAMMAD MARZUKI ALI   (141268810)


PROGRAM STUDI STRATA SATU PERBANKAN SYARIAH JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
TAHUN 1436 H/2015 M

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan pertolongannya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan.
            Penulisan makalah ini dibuat adalah sebagai media pembelajaran di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Jurai Siwo Metro dalam rangka memenuhi tugas diperguruan tinggi yang berkaitan dengan bahan pembelajaran.
            Penyusunan menyadari bahwa dalam penyusunan kata atau kalimat dan tata letak dalam makalah ini tentunya banyak sekali kekurangan dan kekhilafan, baik kata atau kalimat dan tata letak.
            Untuk kebaikan dan sempurnanya makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Dan akhirnya semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, penyusun dan mahasiswa.

                                                                                                Metro, Oktober 2015
                                   
                                                                                                Penyusun













DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL – 1
KATA PENGANTAR – 2
DAFTAR ISI – 3
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang – 4
B.     Rumusan masalah – 4
BAB II PEMBAHASAN
A.    Tafsir Surah At-Taubah Ayat 7-11 – 5
B.     Pengertian Perjanjian – 9
C.     Macam-macam perjanjian – 10
D.    Asas-asas perjanjian – 14
E.     Rukun dan Syarat Perjanjian – 16
F.      Berakhirnya Perjanjian – 18
G.    Prosedur Pembatalan Perjanjian – 20
BAB III PENUTUP – 21
DAFTAR PUSTAKA – 22








BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu sepakat, kecakapan, hal tertentu  dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 kitab Undang-undang hukum perdata dengan di penuhinya empat syarat sah dan perjanjian dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian dalam islam sudah di atur dalam surah At-Taubah ayat 7-11. Prosedur pembatalan perjanjian yaitu terlebih dahulu para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian tersebut diberitahu, bahwa perjanjian yang telah dibuat dibatalkan, disertai alasannya. Pemberian waktu yang cukup dimaksudkan untuk salah satu pihak yang membuat akad, bertujuan untuk memberikan waktu kepada mereka untuk bersiap-siap menghadapi resiko pembatalan.

B.            Rumusan Masalah
a.       Bagiamana tafsir Surat At-Taubah Ayat 7-11 ?
b.      Apa pengertian Perjanjian ?
c.       Apa sajakah Macam-macam perjanjian ?
d.      Apa sajakah asas-asas perjanjian ?










BAB II
PEMBAHASAN

A.           Tafsir Surat At-taubah Ayat 7-11

Surat At-Taubah ayat 7 :
y#øŸ2 ãbqä3tƒ tûüÅ2ÎŽô³ßJù=Ï9 îôgtã yYÏã «!$# yZÏãur ÿ¾Ï&Î!qßu žwÎ) šúïÏ%©!$# óO?yg»tã yYÏã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# ( $yJsù (#qßJ»s)tFó$# öNä3s9 (#qßJŠÉ)tGó$$sù öNçlm; 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä šúüÉ)­GßJø9$# ÇÐÈ  
Artinya : “Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasulnya dan orang-orang musyirikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil haram? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.

Dalam ayat tersebut, Allah SWT menyatakan keterlepasan diri-Nya dan Rasaul-Nya dari kaum Musyrikin. Adapun ayat ini mengatakan bahwa nereka itu tidak memiliki janji apapun dari sisi Allah SWT dan tidak berhak apapun atas Rasul Allah. Kaum muslimin harus berlaku baik hanya kepada mereka yang menjalin perjanjian di dekat Masjidil haram bersama Nabi Muhammad saw dan harus menjaga perjanjian tersebut selama mereka menjaganya pula. Jika mereka tidak menjaga dan tidak lagi menepati isi perjanjian itu, maka kaum muslimin pun tidak perlu lagi menepati isi perjajian tersebut. Tentu saja jelas sekali bahwa setiap muslim tetap berkewajiban menjaga takwa, meskipun dalam bertindak terhadap musuh.[1]

Dari surat At-Taubah ayat 7 ini terdapat pelajaran yang dapat dipetik, yaitu :
a.    Dalam bersikap terhadap musuh, termasuk dalam masalah menepati atau melanggar perjanjian, kita memberlakukan konsep “pembalasan setimpal”, sesuai dengan ajaran Al-qur’an.
b.    Janganlah kalian bersikap sehinga akan membuat musuh mampu menguasai kalian, tau membuat kalian keluar dari garis-garis ketakwaan.
c.    Menempati perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan sosial merupakan konsekwensi iman dan takwa.

Ayat ke 8 :
y#øŸ2 bÎ)ur (#rãygôàtƒ öNà6øn=tæ Ÿw (#qç7è%ötƒ öNä3Ïù ~wÎ) Ÿwur Zp¨BÏŒ 4 Nä3tRqàÊöãƒ öNÎgÏdºuqøùr'Î/ 4n1ù's?ur óOßgç/qè=è% öNèdçŽsYò2r&ur šcqà)Å¡»sù ÇÑÈ  
Artinya :”Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian)”.

Ayat ini menjelaskan cara pandang dan kinerja musuh, agar muslimin tidak terkecoh oleh tipu muslihat mereka yang tampak manis dan menarik. Setiap muslim hars mengetahui bahwa hati kaum musyrikin tidak pernah bersih dan tidak pernah jujur terhadap mukminin, bahkan mereka selalu menyimpan rasa dendam terhadap muslimin. Hal itu akan tampak jika mereka memiliki kekuatan dan berkuasa atas muslimin, yaitu bahwa mereka tidak akan pernah mempedulikan kaedah-kaedah umum dan peraturan-peraturan sosial. Bahkan terhadap kaum kerabat pun mereka tidak menaruh belas kasihan, dan sama sekali tidak menghormati perjajian dan kesepakatan apapun.[2]
Dari ayat ini dapat diambil pelajaran yang dapat dipetik, yaitu :
a.       Kita harus mengenal watak musuh-musuh dengan baik. Mereka itu hanya pandai berkata manis dimulut, tetapi hati mereka penuh dengan dendam dan amal perbuatan mereka sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagi kita.
b.      Sikap permusuhan mereka, yaitu jika mereka berhasil menhuasai kalian, maka mereka tidak  akan pernah mempedulikan masalah-masalah kekerabatan dan perjanjian-perjanjian sosial adalah sesuatu yang tidak boleh diremehkan.

Ayat ke 9 :
(#÷ruŽtIô©$# ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# $YYyJrO WxŠÎ=s% (#r|Ásù `tã ÿ¾Ï&Î#Î6y 4 öNåk¨XÎ) uä!$y $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ
Artinya :”Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu”.

          Ayat ini menyinggung satu lagi diantara ciri-ciri musuh dan mengatakan bahwa untuk mencegah meluasnya ajaran agama Allah, mereka membelanjakan uang dalam jumlah besar dan tidak segan untuk melakukan apa saja demi mencapai cita-cita mereka. Ciri-ciri ini sesuai dengan kaum Yahudi Madinah yang mereka itu menerima Taurat dan mengenal ayat-ayat Ilahi, akan tetapi untuk mencegah meluasnya ajaran Islam, mereka menyembunyikan hakikat-hakikat atau menyimpangkannya. Semua itu mereka lakukan dalam rangka mempertahankan kekayaan dan kemewahan duniawi mereka.[3] Pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa ini yaitu :
a.       Sebesar apapun kekayaan dan kesenangan duniawi yang kita peroleh dengan cara memalingkan diri dari ajaran Ilahi, maka semua itu sangat kecil dan tidak ada artinya, meskipun tampak banyak dan menyenangkan.
b.      Akar perlawanan para musuh terhadap agama ialah cinta dunia. Karena pada kenyataannya mereka tidak memiliki logika apa pun selain itu.

Ayat ke 10-11
Ÿw tbqç7è%ötƒ Îû ?`ÏB÷sãB ~wÎ) Ÿwur Zp¨BÏŒ 4 šÍ´¯»s9'ré&ur ãNèd šcrßtG÷èßJø9$# ÇÊÉÈ   bÎ*sù (#qç/$s? (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4qŸ2¨9$# öNä3çRºuq÷zÎ*sù Îû Ç`ƒÏe$!$# 3 ã@Å_ÁxÿçRur ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÊÊÈ  
Artinya : “Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui bata. (ayat ke 10)
“jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan itu bagi kaum yang mengetahui” (ayat ke 11)
          Ayat-ayat ini kembali mengingatkan dan menekankan tentang permusuhan keras kaum musyrik dan kaum kafir terhadap kaum mukmin dan mengatakan bahwa mereka itu selalu menggunakan cara agresi dan pelanggaran terhadap segala macam peraturan. Mereka tidak peduli akan peraturan-peraturan sosial yang dibuat berdasarkan perjanjian di antara anggota masyarakat, maupun peraturan-peraturan Ilahi yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk umat manusia. Kelanjutan ayat ini mengatakan bahwa sudah barang tentu jalan kembali masih terbuka bagi mereka, dimana jika mereka bertaubat dari syirik dan kufur, serta melaksanakan kewajiban-kewajiban agama seperti shalat dan zakat, maka mereka ini akan dianggap saudara seiman dan harus diperlakukan dengan sesuai.[4] Dan pelajaran yang dapat dipetik  yaitu :
a.       Pelanggaran perjanjian sama dengan tindakan agresi. Yang dikatakan agresi itu  bukan hanya pembunuhan dan pencurian.
b.      Syarat untuk masuk kedalam lingkungan persaudaraan agama, ialah penegakan shalat dan penunaian zakat. Hubungan seorang muslim harus berdasarkan ajaran agama yang sudah ditetapkan.

B.            Pengertian Perjanjian
Dalam perundang-undangan Indonesia ada beberapa istilah yang digunakan yaitu perikatan, peruntangan, persetujuan, dan memorandum of understanding (MoU). Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanjikepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perjanjian tersebut melahirkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.[5]
Menurut Prof. Subekti, S.H., perkataan mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian, karena perjanjian hanya merupakan salah satu sumber hukum dari perikatan, disamping yang lahir dari Undang-undang. Perikatan mengandung suatu pengertian abstrak, sedangkan peristiwa hukum yang konkret. Oleh karena itu, perjanjian dan Undang-undang merupakan peristiwa konkret yang melahirkan
perikatan sesuatu yang abstrak. Perjanjian dapat pula diartikan sebagai hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja/buruh dengan seseorang
yang bertindak sebagai majikan.[6]
Perjanjian dalam Islam pada dasarnya dapat dilakukan dalam segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum (penyebab munculnya hak dan kewajiban) bagi pihak-pihak yang terkait. Bentuk perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian adalah tergantung pada bentuk atau jenis obyek perjanjian yang dilakukan. Sebagai misal, perjanjian dalam transaksi jual-beli (Bai’), sewa menyewa (Ijarah), bagi hasil (Mudharabah), penitipan barang (wadi’ah), perseroan (syirkah), pinjam meminjam (ariyah), pemberian (hibah), penangguhan utang (kafalah), wakaf, wasiat, kerja, gadai atau perjanjian perdamaian dan lain sebagainya.[7]

C.           Macam-macam Perjanjian
1.        Jual-beli
Pengaturan tentang Jual beli sebagai perjanjian didapat pada Bab kelima, yang pada Pasal 1457 KUH Perdata diartikan sebagai suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan Perjanjian.[8]
Jual Beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
2.        Tukar Menukar
Pasal 1541 KUH Perdata menyatakan bahwa tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertibal balik, sebagai gantinya barang lain.[9] Sebagaimana dengan perjanjian jual beli, perjanjian ini juga bersifat konsensual dan sudah mengikat pada saat tercapainya kata sepakat di antara para pihak. Dalam perjanjian ini pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar oleh para pihak, dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Penyerahan barang bergerak cukup penyerahan nyata, sedangkan barang tidak bergerak menggunakan penyerahan secara yuridis formal.
Objek tukar menukar, dalam KUH Perdata adalah semua yang dapat diperjual belikan, maka dapat menjadi objek tukar menukar. Terhadap hal ini juga dalam KUH Perdata menyatakan bahwa semua pengaturan tentang jual beli juga berlaku untuk perjanjian tukar menukar. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata mengatur tentang resiko yang berbunyi ‛Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar menukar.
3.        Sewa-Menyewa
Sewa menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUH Perdata. Sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang terakhir itu.[10] Seperti yang telah ditentukan dalam KUH Perdata yang mengatur tentang sewa menyewa pada Pasal 1548 yang berbunyi: “Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”. Sebagaimana halnya dengan perjanjian lainnya, sewa menyewa adalah perjanjian konsensual yang artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu barang dan harga. Penyerahan barang untuk dapat dinikmati oleh pihak penyewa diberikan oleh yang menyewakan, dengan mana kewajiban penyewa adalah untuk membayar harga. Penyerahan barang hanyalah untuk dipakai dan dinikmati.
4.        Persekutuan
Perjanjian persekutuan berbeda dengan perjanjian perjanjian lainnya yang juga bertujuan untuk mencari keuntungan bersama seperti Firma, maupun Perseroan Terbatas, dikarenakan dalam persekutuan perjanjian hanya lah antara para pihak yang mengikatkan dirinya dan tidak mempunyai pengaruh ke luar kepada pihak yang lain. Begitu juga sebaliknya, pihak ketiga tidak mempunyai kepentingan bagaimana diaturnya kerjasama dalam persekutuan itu, karena para sekutu bertanggungjawab secara pribadi atau perseorangan tentang hutang-hutang yang mereka buat.[11]
Tentang pembagian keuntungan maupun bentuknya modal yang dimasukkan oleh masing-masing sekutu adalah tidak ditentukan oleh Undang-undang, untuknya semua diserahkan kepada mereka sendirinya untuk mengatur nya di dalam perjanjian persekutuannya. Persekutuan diatur dalam KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652. Seperti yang tercantum
dalam Pasal 1618 yang berbunyi: “Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untukmemasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”.
5.        Perkumpulan
Perjanjian Perkumpulan menurut perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu dengan tidak mencari keuntungan tertentu, dalam hal mana kerja sama ini disusun dengan bentuk dan cara sebagaimana yang diatur dalam anggaran dasar.
6.         Hibah
Perjanjian Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah (pemberi hibah) pada masa hidupnya, dengan cumacuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuat barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan tersebut. Pengaturan atas hibah didapat pada Pasal 1666 sampai dengan 1693 KUH Perdata. Hibah sebagaimana perjanjian lainnya adalah bersifat obligatoir, penyerahan hak milik baru akan terjadi jika telah terlaksananya levering, yang untuk barang tetap dilakukan melalui akta notaris sedangkan untuk barang bergerak tidak diperlukan formalitas ini, namun demi kepentingan para pihak sangat lah dianjurkan melalui akta notaris, terutama jika bendanya bernilai tinggi. Penting juga untuk memperhatikan bahwa dalam pelaksanaannya perjanjian hibah tetap harus memperhatikan ketentuan serta tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan.[12]
7.        Penitipan Barang
Perjanjian Penitipan barang merupakan suatu perjanian riil yang baru akan terjadi apabila seseorang telah menerima sesuatu barang dari seorang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dengan mengembalikanya dalam wujud asal. Dasar hukumnya bisa dapati pada Pasal 1694 KUH Perdata.
8.        Pinjam-Pakai
Perjanjian pinjam pakai adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah memakai atau setelah lewat waktu tertentu akan mengembalikannya. Pengaturan umum bisa kita dapatkan pada Pasal 1794 KUH Perdata. Perjanjian pinjam pakai mensyaratkan pihak yang meminjam pakai untuk mengembalikan barangnya dan memperlakukan barangnya sebagaimana bapak rumah yang baik. Dan terhadap objeknya ditentukan adalah setiap barang yang dapat dipakai oleh orang dan mempunyai sifat tidak musnah karena pemakaian.[13]
9.        Pinjam Meminjam
Perjanjian pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu baran-barang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Ketentuan umum terhadapnya dapat kita lihat pada Pasal 1754 KUH Perdata.
10.    Untung-Untungan
Perjanjian ini adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak adalah bergantung pada suatu keadaan yang belum tentu. Yang termasuk dalam perjanjian ini adalan perjanjian pertanggungan, bunga cagak hidup dan perjudian dan pertaruhan. Pasal 1774 KUH perdata mengatur tentang perjanjian untung-untungan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara
pihak, adalah bergantung kepada suatu keadaan yang belum tentu.[14]

D.           Asas-Asas Perjanjian
1.        Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah)
Asas Ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas Ibahah memilik arti segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apa pun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut.[15]
2.        Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah at Ta’aqud)
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukkan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan
kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesame dengan jalan yang batil.[16] Adanya asas kebebasan berakad dalam hukum Islam didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Maaidah ayat 1 yaitu ,
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ........
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…..”
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi. Kaidah hukum Islam, pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji.
3.        Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.
4.        Asas Janji yang Mengikat
Dalam al-Qur’an dan Hadits terdapat banyak perintah agar memenuhi janji. Dalam kaidah usul fiqh, perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 34 yang berbunyi:
4 (#qèù÷rr&ur Ïôgyèø9$$Î/ ( ¨bÎ) yôgyèø9$# šc%x. Zwqä«ó¡tB ÇÌÍÈ  
Artinya: “…….dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.
5.        Asas Keseimbangan (Mabda’ at-Tawazun fi al Mu’awadhah)
Dalam keadaan seseungguhnya jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Asas keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang
mencolok.[17]
6.        Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
Dengan asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga memberatkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.
7.        Asas Amanah
Dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yang disebut perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan untuk menutup perjanjian bersangkutan. Diantara ketentuannya adalah bahwa bohong atau penyembunyian informasi yang semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila dikemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian.[18]

E.            Rukun dan Syarat Perjanjian
a.       Rukun Perjanjian
Secara umum, rukun perjanjian dalam hukum Islam adalah adanya shigat aqad itu sendiri, yang terdiri dari ijab dan qabul, yaitu suatu cara bagaimana rukun-rukun akad tersebut dinyatakan dan menunjuk kepada kehendak kedua belah pihak. Adapun syarat-syarat shigat akad ini adalah:
1.        Harus jelas atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku.
2.        Harus ada kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari.
3.        Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tidak ada paksaan) dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh.
Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan (dengan kata-kata), tulisan (catatan), isyarat (khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf) ataupun dengan perbuatan (seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya). Apapun bentuk shigat akad itu tidak menjadi masalah, namun yang terpenting adalah dapat menyatakan kehendak dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.
b.      Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam melakukan perjanjian memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi, syarat-syarat yang dimaksud adalah dalam hukum Islam dinamakan syarat-syarat terbentuknya akad (syuruth alin’iqab). Ada delapan syarat-syarat terbentuknya akad, yaitu:
1.      Tamyiz
2.      Berbilang pihak
3.      Persesuaian ijab dan qobul (kesepakatan)
4.      Kesatuan majelis akad
5.      Objek akad dapat diserahkan
6.      Objek akad tertentu atau dapat ditentukan
7.      Objek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan dimiliki/mutaqawwim dan mamluk).
8.      Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara’.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1.      Sepakat untuk mengikatkan diri, maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seiya sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3.      Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan

F.            Berakhirnya Akad
Akad akan berakhir, jika dipenuhi hal-hal sebagai berikut:
1.      Berakhirnya Masa Berlaku Akad
Dalam suatu perjanjian telah ditentukan saat kapan perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu maka secara otomatis perjanjian akan berakhir, kecuali kemudian ditentukan lain oleh para pihak.
2.      Dibatalkannya oleh pihak yang berakad
Terjadinya pembatalan atau pemutusan akad (Fasakh) pembatalan perjanjian terjadi apabila salah satu pihak melanggar ketentuan perjanjian atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau penipuan.[19] Pembolehan untuk membatalkan perjanjian oleh salah satu pihak apabila pihak yang lain menyimpang dari apa yang diperjanjikan adalah didasarkan kepada ketentuan al-Qur’an di antarannya Surat At-Taubah ayat 7-8 :
y#øŸ2 ãbqä3tƒ tûüÅ2ÎŽô³ßJù=Ï9 îôgtã yYÏã «!$# yZÏãur ÿ¾Ï&Î!qßu žwÎ) šúïÏ%©!$# óO?yg»tã yYÏã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# ( $yJsù (#qßJ»s)tFó$# öNä3s9 (#qßJŠÉ)tGó$$sù öNçlm; 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä šúüÉ)­GßJø9$# ÇÐÈ   y#øŸ2 bÎ)ur (#rãygôàtƒ öNà6øn=tæ Ÿw (#qç7è%ötƒ öNä3Ïù ~wÎ) Ÿwur Zp¨BÏŒ 4 Nä3tRqàÊöãƒ öNÎgÏdºuqøùr'Î/ 4n1ù's?ur óOßgç/qè=è% öNèdçŽsYò2r&ur šcqà)Å¡»sù ÇÑÈ  
Artinya: “Bagaimana bisa ada Perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya
dengan orang-orang musyrikin kecuali orang-orang yang kamu telah Mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil haraam? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (ayat 7).
Artinya :”Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian)”. (ayat 8)

Selain itu, pembatalan/pemutusan akad dapat terjadi dengan sebab-sebab seperti adanya hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syara’, adanya khiyar, adanya penyesalan dari salah satu pihak (iqalah), sifat takabur dari si pemberi janji. Seperti dalam firman Allah SWT Q.S At-Taubah ayat 9 :
(#÷ruŽtIô©$# ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# $YYyJrO WxŠÎ=s% (#r|Ásù `tã ÿ¾Ï&Î#Î6y 4 öNåk¨XÎ) uä!$y $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ
Artinya :”Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu”.
3.      Salah Satu Pihak yang Berakad Meninggal Dunia
Hal ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang membutuhkan adanya kompetensi khas. Sedangkan jika perjanjian dibuat dalam hal memberikan sesuatu dalam bentuk uang/barang maka perjanjian tetap berlaku bagi ahli warisnya.[20]
4.      Jika ada Kelancangan dan Bukti Pengkhianatan (penipuan)
Jika dalam suatu perjanjian terbukti adanya penipuan, maka akad tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang tertipu. Hal ini bedasarkan kepada firman Allah SWT QS. At-Taubah ayat 10-11 :
Ÿw tbqç7è%ötƒ Îû ?`ÏB÷sãB ~wÎ) Ÿwur Zp¨BÏŒ 4 šÍ´¯»s9'ré&ur ãNèd šcrßtG÷èßJø9$# ÇÊÉÈ   bÎ*sù (#qç/$s? (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4qŸ2¨9$# öNä3çRºuq÷zÎ*sù Îû Ç`ƒÏe$!$# 3 ã@Å_ÁxÿçRur ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÊÊÈ    
Artinya : “Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui bata. (ayat ke 10)
“jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan itu bagi kaum yang mengetahui” (ayat ke 11).

G.           Prosedur Pembatalan Perjanjian
Prosedur pembatalan perjanjian yaitu terlebih dahulu para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian tersebut diberitahu, bahwa perjanjian yang telah dibuat dibatalkan, disertai alasannya. Pemberian waktu yang cukup dimaksudkan untuk salah satu pihak yang membuat akad, bertujuan untuk memberikan waktu kepada mereka untuk bersiap-siap menghadapi resiko pembatalan.[21] Adapun dasar hukumnya yaitu dalam firman Allah SWT Q.S Al-Anfal ayat 58.
$¨BÎ)ur  Æsù$sƒrB `ÏB BQöqs% ZptR$uŠÅz õÎ7/R$$sù óOÎgøs9Î) 4n?tã >ä!#uqy 4 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûüÏYͬ!$sƒø:$# ÇÎÑÈ  
 Artinya : “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) ada penghianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”.
Cara yang baik yang terdapat dalam surat Al-Anfal yaitu yang ditafsirkan sebagai pemberitahuan dan adanya tenggang waktu yang wajar utuk pemutusan perjanjian secara total.


























BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanjikepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perjanjian tersebut melahirkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu sepakat, kecakapan, hal tertentu  dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 kitab Undang-undang hukum perdata dengan di penuhinya empat syarat sah dan perjanjian dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya

















DAFTAR PUSTAKA

            Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
            Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
            Departemen Agama Ri, Al-Qur’an Dan Terjemahannya , (Surabaya: Ud Mekar Surabaya, 2000)
Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
Subekti, Kuh Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006)
Salim, Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003)


[2]Ibid, diunduh pada tanggal 03 September 2015
[3]Ibid,diunduh pada tanggal 03 September 2015
[4] Ibid.,diunduh pada tanggal 03 September 2015
[5] Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),hal. 6
[6] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 1
[7] Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 9
[8] Subekti, Kuh Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006),  hal. 366
[9] Salim, Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 57
[10] Ibid..., hal. 58
[11] Ibid.,hal. 63
[12] Ibid.,hal. 74
[13] Ibid.,hal. 75
[14] Ibid.,hal. 76
[15] Ibid.,hal. 83
[16] Departemen Agama Ri, Al-Qur’an Dan Terjemahannya , (Surabaya: Ud Mekar Surabaya, 2000), hal. 156
[17] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 91
[18] Ibid.,hal. 92
[19] Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal 71
[20] Ibid., hal. 73
[21] Ibid..., hal. 74

1 komentar:

  1. WynnBET and Encore Las Vegas join luxury brands
    The two resorts 안양 출장안마 collectively offer the largest total casino 양주 출장샵 space in the world 평택 출장마사지 and include 1,748 spacious 시흥 출장샵 hotel rooms, 강원도 출장안마 over 1,300

    BalasHapus