TAFSIR AYAT AHRKAM PERJANJIAN
Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Ekonomi dan Perbankan
Dosen Pengampu : Dr. Tobibatussaadah. M.Ag
DI SUSUN OLEH :
1. ANA
HARDIAN (141257810)
2. ARIF
ZULBAHRI (141258710)
3. MUHAMMAD
MARZUKI ALI (141268810)
PROGRAM STUDI STRATA SATU PERBANKAN SYARIAH JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
TAHUN 1436 H/2015 M
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan pertolongannya,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan.
Penulisan makalah ini dibuat adalah
sebagai media pembelajaran di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Jurai Siwo
Metro dalam rangka memenuhi tugas diperguruan tinggi yang berkaitan dengan
bahan pembelajaran.
Penyusunan menyadari bahwa dalam
penyusunan kata atau kalimat dan tata letak dalam makalah ini tentunya banyak
sekali kekurangan dan kekhilafan, baik kata atau kalimat dan tata letak.
Untuk kebaikan dan sempurnanya
makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Dan akhirnya
semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, penyusun dan mahasiswa.
Metro,
Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL –
1
KATA PENGANTAR –
2
DAFTAR ISI – 3
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang – 4
B.
Rumusan masalah – 4
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir Surah At-Taubah Ayat 7-11 – 5
B.
Pengertian Perjanjian – 9
C.
Macam-macam perjanjian – 10
D.
Asas-asas perjanjian – 14
E.
Rukun dan Syarat Perjanjian – 16
F.
Berakhirnya Perjanjian – 18
G.
Prosedur Pembatalan Perjanjian – 20
BAB III PENUTUP
– 21
DAFTAR PUSTAKA –
22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Suatu kontrak atau
perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu sepakat, kecakapan,
hal tertentu dan suatu sebab yang halal,
sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 kitab Undang-undang hukum perdata
dengan di penuhinya empat syarat sah dan perjanjian dan mengikat secara hukum
bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian dalam islam
sudah di atur dalam surah At-Taubah ayat 7-11. Prosedur pembatalan perjanjian
yaitu terlebih dahulu para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian tersebut
diberitahu, bahwa perjanjian yang telah dibuat dibatalkan, disertai alasannya. Pemberian
waktu yang cukup dimaksudkan untuk salah satu pihak yang membuat akad,
bertujuan untuk memberikan waktu kepada mereka untuk bersiap-siap menghadapi
resiko pembatalan.
B.
Rumusan
Masalah
a. Bagiamana
tafsir Surat At-Taubah Ayat 7-11 ?
b. Apa
pengertian Perjanjian ?
c. Apa
sajakah Macam-macam perjanjian ?
d. Apa
sajakah asas-asas perjanjian ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir
Surat At-taubah Ayat 7-11
Surat
At-Taubah ayat 7 :
y#ø‹Ÿ2 ãbqä3tƒ tûüÅ2ÎŽô³ßJù=Ï9 î‰ôgtã y‰YÏã «!$# y‰ZÏãur ÿ¾Ï&Î!qß™u‘ žwÎ) šúïÏ%©!$# óO›?‰yg»tã y‰YÏã ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# ( $yJsù (#qßJ»s)tFó™$# öNä3s9 (#qßJŠÉ)tGó™$$sù öNçlm; 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† šúüÉ)GßJø9$# ÇÐÈ
Artinya
: “Bagaimana bisa ada perjanjian (aman)
dari sisi Allah dan Rasulnya dan orang-orang musyirikin, kecuali orang-orang
yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil haram?
Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus
(pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.
Dalam ayat tersebut, Allah SWT menyatakan keterlepasan
diri-Nya dan Rasaul-Nya dari kaum Musyrikin. Adapun ayat ini mengatakan bahwa
nereka itu tidak memiliki janji apapun dari sisi Allah SWT dan tidak berhak
apapun atas Rasul Allah. Kaum muslimin harus berlaku baik hanya kepada mereka
yang menjalin perjanjian di dekat Masjidil haram bersama Nabi Muhammad saw dan
harus menjaga perjanjian tersebut selama mereka menjaganya pula. Jika mereka
tidak menjaga dan tidak lagi menepati isi perjanjian itu, maka kaum muslimin
pun tidak perlu lagi menepati isi perjajian tersebut. Tentu saja jelas sekali
bahwa setiap muslim tetap berkewajiban menjaga takwa, meskipun dalam bertindak
terhadap musuh.[1]
Dari
surat At-Taubah ayat 7 ini terdapat pelajaran yang dapat dipetik, yaitu :
a. Dalam
bersikap terhadap musuh, termasuk dalam masalah menepati atau melanggar
perjanjian, kita memberlakukan konsep “pembalasan setimpal”, sesuai dengan
ajaran Al-qur’an.
b. Janganlah
kalian bersikap sehinga akan membuat musuh mampu menguasai kalian, tau membuat
kalian keluar dari garis-garis ketakwaan.
c. Menempati
perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan sosial merupakan konsekwensi iman dan
takwa.
Ayat
ke 8 :
y#ø‹Ÿ2 bÎ)ur (#rãygôàtƒ öNà6ø‹n=tæ Ÿw (#qç7è%ötƒ öNä3‹Ïù ~wÎ) Ÿwur Zp¨BÏŒ 4 Nä3tRqàÊöムöNÎgÏdºuqøùr'Î/ 4’n1ù's?ur óOßgç/qè=è% öNèdçŽsYò2r&ur šcqà)Å¡»sù ÇÑÈ
Artinya
:”Bagaimana bisa (ada perjanjian dari
sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musrikin), padahal jika mereka
memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan
kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka
menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian)”.
Ayat ini menjelaskan cara pandang dan
kinerja musuh, agar muslimin tidak terkecoh oleh tipu muslihat mereka yang
tampak manis dan menarik. Setiap muslim hars mengetahui bahwa hati kaum
musyrikin tidak pernah bersih dan tidak pernah jujur terhadap mukminin, bahkan
mereka selalu menyimpan rasa dendam terhadap muslimin. Hal itu akan tampak jika
mereka memiliki kekuatan dan berkuasa atas muslimin, yaitu bahwa mereka tidak
akan pernah mempedulikan kaedah-kaedah umum dan peraturan-peraturan sosial.
Bahkan terhadap kaum kerabat pun mereka tidak menaruh belas kasihan, dan sama
sekali tidak menghormati perjajian dan kesepakatan apapun.[2]
Dari ayat ini dapat diambil pelajaran
yang dapat dipetik, yaitu :
a. Kita
harus mengenal watak musuh-musuh dengan baik. Mereka itu hanya pandai berkata
manis dimulut, tetapi hati mereka penuh dengan dendam dan amal perbuatan mereka
sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagi kita.
b. Sikap
permusuhan mereka, yaitu jika mereka berhasil menhuasai kalian, maka mereka
tidak akan pernah mempedulikan
masalah-masalah kekerabatan dan perjanjian-perjanjian sosial adalah sesuatu
yang tidak boleh diremehkan.
Ayat
ke 9 :
(#÷ruŽtIô©$# ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# $YYyJrO WxŠÎ=s% (#r‘‰|Ásù `tã ÿ¾Ï&Î#‹Î6y™ 4 öNåk¨XÎ) uä!$y™ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ
Artinya
:”Mereka menukarkan ayat-ayat Allah
dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu”.
Ayat ini menyinggung satu lagi
diantara ciri-ciri musuh dan mengatakan bahwa untuk mencegah meluasnya ajaran
agama Allah, mereka membelanjakan uang dalam jumlah besar dan tidak segan untuk
melakukan apa saja demi mencapai cita-cita mereka. Ciri-ciri ini sesuai dengan
kaum Yahudi Madinah yang mereka itu menerima Taurat dan mengenal ayat-ayat
Ilahi, akan tetapi untuk mencegah meluasnya ajaran Islam, mereka menyembunyikan
hakikat-hakikat atau menyimpangkannya. Semua itu mereka lakukan dalam rangka
mempertahankan kekayaan dan kemewahan duniawi mereka.[3]
Pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa ini yaitu :
a. Sebesar
apapun kekayaan dan kesenangan duniawi yang kita peroleh dengan cara
memalingkan diri dari ajaran Ilahi, maka semua itu sangat kecil dan tidak ada
artinya, meskipun tampak banyak dan menyenangkan.
b. Akar
perlawanan para musuh terhadap agama ialah cinta dunia. Karena pada
kenyataannya mereka tidak memiliki logika apa pun selain itu.
Ayat
ke 10-11
Ÿw tbqç7è%ötƒ ’Îû ?`ÏB÷sãB ~wÎ) Ÿwur Zp¨BÏŒ 4 šÍ´¯»s9'ré&ur ãNèd šcr߉tG÷èßJø9$# ÇÊÉÈ bÎ*sù (#qç/$s? (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4qŸ2¨“9$# öNä3çRºuq÷zÎ*sù ’Îû Ç`ƒÏe$!$# 3 ã@Å_ÁxÿçRur ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÊÊÈ
Artinya
: “Mereka tidak memelihara (hubungan)
kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian.
Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui bata. (ayat ke 10)
“jika mereka bertaubat,
mendirikan shalat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan itu bagi kaum yang mengetahui”
(ayat ke 11)
Ayat-ayat ini kembali mengingatkan dan
menekankan tentang permusuhan keras kaum musyrik dan kaum kafir terhadap kaum
mukmin dan mengatakan bahwa mereka itu selalu menggunakan cara agresi dan
pelanggaran terhadap segala macam peraturan. Mereka tidak peduli akan
peraturan-peraturan sosial yang dibuat berdasarkan perjanjian di antara anggota
masyarakat, maupun peraturan-peraturan Ilahi yang ditetapkan oleh Allah SWT
untuk umat manusia. Kelanjutan ayat ini mengatakan bahwa sudah barang tentu
jalan kembali masih terbuka bagi mereka, dimana jika mereka bertaubat dari
syirik dan kufur, serta melaksanakan kewajiban-kewajiban agama seperti shalat
dan zakat, maka mereka ini akan dianggap saudara seiman dan harus diperlakukan
dengan sesuai.[4]
Dan pelajaran yang dapat dipetik yaitu :
a. Pelanggaran
perjanjian sama dengan tindakan agresi. Yang dikatakan agresi itu bukan hanya pembunuhan dan pencurian.
b. Syarat
untuk masuk kedalam lingkungan persaudaraan agama, ialah penegakan shalat dan
penunaian zakat. Hubungan seorang muslim harus berdasarkan ajaran agama yang
sudah ditetapkan.
B.
Pengertian
Perjanjian
Dalam perundang-undangan Indonesia ada beberapa
istilah yang digunakan yaitu perikatan, peruntangan, persetujuan, dan memorandum of understanding (MoU). Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanjikepada orang lain atau di mana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perjanjian tersebut
melahirkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya,
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji
atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.[5]
Menurut Prof. Subekti, S.H., perkataan mempunyai
arti yang lebih luas dari perjanjian, karena perjanjian hanya merupakan salah satu
sumber hukum dari perikatan, disamping yang lahir dari Undang-undang. Perikatan
mengandung suatu pengertian abstrak, sedangkan peristiwa hukum yang konkret. Oleh
karena itu, perjanjian dan Undang-undang merupakan peristiwa konkret yang
melahirkan
perikatan
sesuatu yang abstrak. Perjanjian dapat pula diartikan sebagai hubungan antara seseorang
yang bertindak sebagai pekerja/buruh dengan seseorang
yang
bertindak sebagai majikan.[6]
Perjanjian dalam Islam pada dasarnya dapat dilakukan
dalam segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum (penyebab munculnya
hak dan kewajiban) bagi pihak-pihak yang terkait. Bentuk perjanjian yang
terjadi antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian adalah tergantung
pada bentuk atau jenis obyek perjanjian yang dilakukan. Sebagai misal,
perjanjian dalam transaksi jual-beli (Bai’), sewa menyewa (Ijarah), bagi hasil (Mudharabah),
penitipan barang (wadi’ah), perseroan (syirkah), pinjam meminjam (ariyah),
pemberian (hibah), penangguhan utang (kafalah), wakaf, wasiat, kerja, gadai
atau perjanjian perdamaian dan lain sebagainya.[7]
C.
Macam-macam
Perjanjian
1.
Jual-beli
Pengaturan tentang Jual beli sebagai perjanjian
didapat pada Bab kelima, yang pada Pasal 1457 KUH Perdata diartikan sebagai
suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan. Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan Perjanjian.[8]
Jual Beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik
dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas
suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar
harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik
tersebut.
2.
Tukar Menukar
Pasal 1541 KUH Perdata
menyatakan bahwa tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah
pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertibal
balik, sebagai gantinya barang lain.[9] Sebagaimana
dengan perjanjian jual beli, perjanjian ini juga bersifat konsensual dan sudah
mengikat pada saat tercapainya kata sepakat di antara para pihak. Dalam
perjanjian ini pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar
oleh para pihak, dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak.
Penyerahan barang bergerak cukup penyerahan nyata, sedangkan barang tidak bergerak
menggunakan penyerahan secara yuridis formal.
Objek tukar menukar,
dalam KUH Perdata adalah semua yang dapat diperjual belikan, maka dapat menjadi
objek tukar menukar. Terhadap hal ini juga dalam KUH Perdata menyatakan bahwa
semua pengaturan tentang jual beli juga berlaku untuk perjanjian tukar menukar.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata mengatur tentang resiko yang
berbunyi ‛Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar,
musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur
dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali
barang yang ia telah berikan dalam tukar menukar.
3.
Sewa-Menyewa
Sewa menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal
1600 KUH Perdata. Sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak lain
selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak
yang terakhir itu.[10] Seperti
yang telah ditentukan dalam KUH Perdata yang mengatur tentang sewa menyewa pada
Pasal 1548 yang berbunyi: “Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada yang lain
kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran
suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi
pembayarannya”. Sebagaimana halnya dengan perjanjian lainnya, sewa menyewa
adalah perjanjian konsensual yang artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik
tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu barang dan harga. Penyerahan
barang untuk dapat dinikmati oleh pihak penyewa diberikan oleh yang menyewakan,
dengan mana kewajiban penyewa adalah untuk membayar harga. Penyerahan barang
hanyalah untuk dipakai dan dinikmati.
4.
Persekutuan
Perjanjian persekutuan berbeda dengan perjanjian perjanjian
lainnya yang juga bertujuan untuk mencari keuntungan bersama seperti Firma,
maupun Perseroan Terbatas, dikarenakan dalam persekutuan perjanjian hanya lah
antara para pihak yang mengikatkan dirinya dan tidak mempunyai pengaruh ke luar
kepada pihak yang lain. Begitu juga sebaliknya, pihak ketiga tidak mempunyai kepentingan
bagaimana diaturnya kerjasama dalam persekutuan itu, karena para sekutu
bertanggungjawab secara pribadi atau perseorangan tentang hutang-hutang yang
mereka buat.[11]
Tentang pembagian keuntungan maupun bentuknya modal yang
dimasukkan oleh masing-masing sekutu adalah tidak ditentukan oleh
Undang-undang, untuknya semua diserahkan kepada mereka sendirinya untuk
mengatur nya di dalam perjanjian persekutuannya. Persekutuan diatur dalam KUH
Perdata, yang dimulai dari Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652. Seperti yang
tercantum
dalam
Pasal 1618 yang berbunyi: “Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua
orang atau lebih mengikatkan diri untukmemasukkan sesuatu dalam persekutuan,
dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”.
5.
Perkumpulan
Perjanjian Perkumpulan menurut perjanjian yang
dibuat oleh para pihak yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu dengan
tidak mencari keuntungan tertentu, dalam hal mana kerja sama ini disusun dengan
bentuk dan cara sebagaimana yang diatur dalam anggaran dasar.
6.
Hibah
Perjanjian Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana
si penghibah (pemberi hibah) pada masa hidupnya, dengan cumacuma dan tidak
dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuat barang guna keperluan si penerima
hibah yang menerima penyerahan tersebut. Pengaturan atas hibah didapat pada
Pasal 1666 sampai dengan 1693 KUH Perdata. Hibah sebagaimana perjanjian lainnya
adalah bersifat obligatoir, penyerahan hak milik baru akan terjadi jika telah
terlaksananya levering, yang untuk barang tetap dilakukan melalui akta notaris
sedangkan untuk barang bergerak tidak diperlukan formalitas ini, namun demi
kepentingan para pihak sangat lah dianjurkan melalui akta notaris, terutama
jika bendanya bernilai tinggi. Penting juga untuk memperhatikan bahwa dalam pelaksanaannya
perjanjian hibah tetap harus memperhatikan ketentuan serta tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan.[12]
7.
Penitipan Barang
Perjanjian Penitipan barang merupakan suatu
perjanian riil yang baru akan terjadi apabila seseorang telah menerima sesuatu barang
dari seorang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dengan
mengembalikanya dalam wujud asal. Dasar hukumnya bisa dapati pada Pasal 1694
KUH Perdata.
8.
Pinjam-Pakai
Perjanjian pinjam pakai adalah perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk
dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah
memakai atau setelah lewat waktu tertentu akan mengembalikannya. Pengaturan
umum bisa kita dapatkan pada Pasal 1794 KUH Perdata. Perjanjian pinjam pakai
mensyaratkan pihak yang meminjam pakai untuk mengembalikan barangnya dan memperlakukan
barangnya sebagaimana bapak rumah yang baik. Dan terhadap objeknya ditentukan
adalah setiap barang yang dapat dipakai oleh orang dan mempunyai sifat tidak
musnah karena pemakaian.[13]
9.
Pinjam Meminjam
Perjanjian pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
baran-barang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama
pula. Ketentuan umum terhadapnya dapat kita lihat pada Pasal 1754 KUH Perdata.
10. Untung-Untungan
Perjanjian ini adalah suatu perbuatan yang hasilnya,
mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak
adalah bergantung pada suatu keadaan yang belum tentu. Yang termasuk dalam
perjanjian ini adalan perjanjian pertanggungan, bunga cagak hidup dan perjudian
dan pertaruhan. Pasal 1774 KUH perdata mengatur tentang perjanjian untung-untungan
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan
yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi
sementara
pihak,
adalah bergantung kepada suatu keadaan yang belum tentu.[14]
D.
Asas-Asas
Perjanjian
1.
Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah)
Asas Ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam
bidang muamalat secara umum. Asas Ibahah memilik arti segala sesuatu itu sah
dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan
dengan tindakan hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan
hukum dan perjanjian apa pun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus
mengenai perjanjian tersebut.[15]
2.
Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah
at Ta’aqud)
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip
hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa
terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan
memasukkan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan
kepentingannya
sejauh tidak berakibat makan harta sesame dengan jalan yang batil.[16] Adanya
asas kebebasan berakad dalam hukum Islam didasarkan kepada firman Allah dalam
surat al-Maaidah ayat 1 yaitu ,
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ........
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu…..”
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang
dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan
akad-akad itu wajib dipenuhi. Kaidah hukum Islam, pada asasnya akad itu adalah kesepakatan
para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan atas diri mereka
melalui janji.
3.
Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk
terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para
pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam
pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.
4.
Asas Janji yang Mengikat
Dalam al-Qur’an dan Hadits terdapat banyak perintah
agar memenuhi janji. Dalam kaidah usul fiqh, perintah itu pada asasnya
menunjukkan wajib. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi.
Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 34 yang berbunyi:
4 (#qèù÷rr&ur ωôgyèø9$$Î/ ( ¨bÎ) y‰ôgyèø9$# šc%x. Zwqä«ó¡tB ÇÌÍÈ
Artinya:
“…….dan penuhilah janji, sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.
5.
Asas Keseimbangan (Mabda’ at-Tawazun fi
al Mu’awadhah)
Dalam keadaan seseungguhnya jarang terjadi keseimbangan
antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap
menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang
diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Asas
keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang diberikan dengan apa yang
diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami
ketidakseimbangan prestasi yang
mencolok.[17]
6.
Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
Dengan
asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian
(mudharat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akad
terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta
membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga memberatkannya,
maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.
7.
Asas Amanah
Dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian
yang disebut perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada
informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan untuk menutup
perjanjian bersangkutan. Diantara ketentuannya adalah bahwa bohong atau penyembunyian
informasi yang semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila
dikemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak
lain untuk menutup perjanjian.[18]
E.
Rukun
dan Syarat Perjanjian
a. Rukun
Perjanjian
Secara umum, rukun perjanjian dalam hukum Islam
adalah adanya shigat aqad itu sendiri, yang terdiri dari ijab dan qabul, yaitu
suatu cara bagaimana rukun-rukun akad tersebut dinyatakan dan menunjuk kepada
kehendak kedua belah pihak. Adapun syarat-syarat shigat akad ini adalah:
1.
Harus jelas atau terang pengertiannya,
dalam artian bahwa lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan
tujuannya menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku.
2.
Harus ada kesesuaian (tawaffuq) antara
ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari.
3.
Harus memperlihatkan kesungguhan dan
keridhaan (tidak ada paksaan) dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan
isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh.
Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri
dapat dilakukan secara lisan (dengan kata-kata), tulisan (catatan), isyarat
(khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya,
seperti karena bisu dan buta huruf) ataupun dengan perbuatan (seperti dalam
akad sewa-menyewa dan sebagainya). Apapun bentuk shigat akad itu tidak menjadi
masalah, namun yang terpenting adalah dapat menyatakan kehendak dari kedua
belah pihak yang melakukan perjanjian.
b. Syarat
Sahnya Perjanjian
Dalam melakukan perjanjian memiliki beberapa syarat
yang harus dipenuhi, syarat-syarat yang dimaksud adalah dalam hukum Islam
dinamakan syarat-syarat terbentuknya akad (syuruth alin’iqab). Ada delapan
syarat-syarat terbentuknya akad, yaitu:
1. Tamyiz
2. Berbilang
pihak
3. Persesuaian
ijab dan qobul (kesepakatan)
4. Kesatuan
majelis akad
5. Objek
akad dapat diserahkan
6. Objek
akad tertentu atau dapat ditentukan
7. Objek
akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan
dimiliki/mutaqawwim dan mamluk).
8. Tujuan
akad tidak bertentangan dengan syara’.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1. Sepakat
untuk mengikatkan diri, maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seiya sekata mengenai segala
sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya
tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat
perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah
dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3. Suatu
hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat
menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan
F.
Berakhirnya
Akad
Akad akan berakhir, jika dipenuhi hal-hal sebagai
berikut:
1. Berakhirnya
Masa Berlaku Akad
Dalam suatu perjanjian telah ditentukan saat kapan
perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga
dengan lampaunya waktu maka secara otomatis perjanjian akan berakhir, kecuali
kemudian ditentukan lain oleh para pihak.
2. Dibatalkannya
oleh pihak yang berakad
Terjadinya pembatalan atau pemutusan akad (Fasakh) pembatalan
perjanjian terjadi apabila salah satu pihak melanggar ketentuan perjanjian atau
salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur
kekhilafan atau penipuan.[19] Pembolehan
untuk membatalkan perjanjian oleh salah satu pihak apabila pihak yang lain
menyimpang dari apa yang diperjanjikan adalah didasarkan kepada ketentuan
al-Qur’an di antarannya Surat At-Taubah ayat 7-8 :
y#ø‹Ÿ2 ãbqä3tƒ tûüÅ2ÎŽô³ßJù=Ï9 î‰ôgtã y‰YÏã «!$# y‰ZÏãur ÿ¾Ï&Î!qß™u‘ žwÎ) šúïÏ%©!$# óO›?‰yg»tã y‰YÏã ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# ( $yJsù (#qßJ»s)tFó™$# öNä3s9 (#qßJŠÉ)tGó™$$sù öNçlm; 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† šúüÉ)GßJø9$# ÇÐÈ y#ø‹Ÿ2 bÎ)ur (#rãygôàtƒ öNà6ø‹n=tæ Ÿw (#qç7è%ötƒ öNä3‹Ïù ~wÎ) Ÿwur Zp¨BÏŒ 4 Nä3tRqàÊöムöNÎgÏdºuqøùr'Î/ 4’n1ù's?ur óOßgç/qè=è% öNèdçŽsYò2r&ur šcqà)Å¡»sù ÇÑÈ
Artinya: “Bagaimana
bisa ada Perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya
dengan orang-orang musyrikin
kecuali orang-orang yang kamu telah Mengadakan perjanjian (dengan mereka) di
dekat Masjidil haraam? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah
kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa”. (ayat 7).
Artinya
:”Bagaimana bisa (ada perjanjian dari
sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musrikin), padahal jika mereka
memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan
kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka
menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian)”. (ayat 8)
Selain itu, pembatalan/pemutusan akad dapat terjadi
dengan sebab-sebab seperti adanya hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syara’, adanya
khiyar, adanya penyesalan dari salah satu pihak (iqalah), sifat takabur dari si
pemberi janji. Seperti dalam firman Allah SWT Q.S At-Taubah ayat 9 :
(#÷ruŽtIô©$# ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# $YYyJrO WxŠÎ=s% (#r‘‰|Ásù `tã ÿ¾Ï&Î#‹Î6y™ 4 öNåk¨XÎ) uä!$y™ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ
Artinya
:”Mereka menukarkan ayat-ayat Allah
dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu”.
3. Salah
Satu Pihak yang Berakad Meninggal Dunia
Hal ini berlaku pada perikatan untuk berbuat
sesuatu, yang membutuhkan adanya kompetensi khas. Sedangkan jika perjanjian dibuat
dalam hal memberikan sesuatu dalam bentuk uang/barang maka perjanjian tetap
berlaku bagi ahli warisnya.[20]
4. Jika
ada Kelancangan dan Bukti Pengkhianatan (penipuan)
Jika dalam suatu perjanjian terbukti adanya
penipuan, maka akad tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang tertipu. Hal ini bedasarkan
kepada firman Allah SWT QS. At-Taubah ayat 10-11 :
Ÿw tbqç7è%ötƒ ’Îû ?`ÏB÷sãB ~wÎ) Ÿwur Zp¨BÏŒ 4 šÍ´¯»s9'ré&ur ãNèd šcr߉tG÷èßJø9$# ÇÊÉÈ bÎ*sù (#qç/$s? (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4qŸ2¨“9$# öNä3çRºuq÷zÎ*sù ’Îû Ç`ƒÏe$!$# 3 ã@Å_ÁxÿçRur ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÊÊÈ
Artinya
: “Mereka tidak memelihara (hubungan)
kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian.
Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui bata. (ayat ke 10)
“jika mereka bertaubat,
mendirikan shalat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan itu bagi kaum yang mengetahui”
(ayat ke 11).
G.
Prosedur
Pembatalan Perjanjian
Prosedur
pembatalan perjanjian yaitu terlebih dahulu para pihak yang bersangkutan dalam
perjanjian tersebut diberitahu, bahwa perjanjian yang telah dibuat dibatalkan,
disertai alasannya. Pemberian waktu yang cukup dimaksudkan untuk salah satu
pihak yang membuat akad, bertujuan untuk memberikan waktu kepada mereka untuk
bersiap-siap menghadapi resiko pembatalan.[21] Adapun dasar hukumnya
yaitu dalam firman Allah SWT Q.S Al-Anfal ayat 58.
$¨BÎ)ur Æsù$sƒrB `ÏB BQöqs% ZptR$uŠÅz õ‹Î7/R$$sù óOÎgø‹s9Î) 4’n?tã >ä!#uqy™ 4 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä† tûüÏYͬ!$sƒø:$# ÇÎÑÈ
Artinya : “Dan
jika kamu khawatir akan (terjadinya) ada penghianatan dari suatu golongan, maka
kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan jujur. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berkhianat”.
Cara
yang baik yang terdapat dalam surat Al-Anfal yaitu yang ditafsirkan sebagai
pemberitahuan dan adanya tenggang waktu yang wajar utuk pemutusan perjanjian
secara total.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanjikepada orang lain atau di mana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perjanjian tersebut
melahirkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya,
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji
atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Suatu
kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu sepakat,
kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab
yang halal, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 kitab Undang-undang hukum
perdata dengan di penuhinya empat syarat sah dan perjanjian dan mengikat secara
hukum bagi para pihak yang membuatnya
DAFTAR PUSTAKA
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
Syamsul
Anwar, Hukum Perjanjian Syariah,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
Departemen
Agama Ri, Al-Qur’an Dan Terjemahannya
, (Surabaya: Ud Mekar Surabaya, 2000)
Wiwoho
Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
Subekti,
Kuh Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006)
Salim, Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan
Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003)
[1] http://Indonesia.irib.ir.Islam/al-qur’an/item/67304_Tafsir_Al-Qur’an_Surat-At
Taubah_Ayat_7-11.html.com, diunduh pada tanggal 03 September 2015
[4] Ibid.,diunduh pada tanggal 03 September 2015
[5] Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013),hal. 6
[6] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 1
[7] Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1991), hal. 9
[8] Subekti, Kuh Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), hal. 366
[9] Salim, Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003),
hal. 57
[10] Ibid..., hal. 58
[11] Ibid.,hal. 63
[12] Ibid.,hal. 74
[13] Ibid.,hal. 75
[14] Ibid.,hal. 76
[15] Ibid.,hal. 83
[16] Departemen
Agama Ri, Al-Qur’an Dan Terjemahannya
, (Surabaya: Ud Mekar Surabaya, 2000), hal. 156
[18] Ibid.,hal. 92
[20] Ibid., hal. 73
[21] Ibid..., hal. 74
WynnBET and Encore Las Vegas join luxury brands
BalasHapusThe two resorts 안양 출장안마 collectively offer the largest total casino 양주 출장샵 space in the world 평택 출장마사지 and include 1,748 spacious 시흥 출장샵 hotel rooms, 강원도 출장안마 over 1,300