Senin, 19 Januari 2015

Makalah Akhlak Tasawuf



MANAJEMEN KALBU DALAM PENDEKATAN TASAWUF DAN TRANFORMASI MANUSIA

Makalah ini di susun guna untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu :  Wawan Trans Pujianto. M.Kom.I
STAIN Logo.jpg







DI SUSUN OLEH :
1.        ARIF ZULBAHRI                         141258710
2.        DEVITA ROSALIA                      141260210
3.        FITRIANA ABDULLAH              141263910
4.        RIMA NURMALA SARI              141272210

PROGRAM STUDI           : S1 PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN                         : SYARIAH DAN EKOMONI ISLAMI
KELAS                             : B
SEMESTER                      : 1

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2014/2015


KATA PENGATAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan pertolongannya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan.
            Penulisan makalah ini dibuat adalah sebagai media pembelajaran di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Jurai Siwo Metro dalam rangka memenuhi tugas diperguruan tinggi yang berkaitan dengan bahan pembelajaran.
            Penyusunan menyadari bahwa dalam penyusunan kata atau kalimat dan tata letak dalam makalah ini tentunya banyak sekali kekurangan dan kekhilafan, baik kata atau kalimat dan tata letak.
            Untuk kebaikan dan sempurnanya makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Dan akhirnya semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, penyusun dan mahasiswa.

                                                                                                Metro, Oktober 2014
                                   
                                                                                                Penyusun









DAFTAR ISI

KATA PENGATAR – 2
DAFTAR ISI – 3
            BAB I PENDAHULAN
1.      Latar Belakang – 4
2.      Rumusan Masalah – 4
BAB II PEMBAHASAN
1.      Pengertian Tasawuf – 5
2.      Manajemen Kalbu dalam pendekatan tasawuf – 6
3.      Hubungan Tasawuf dengan Psikologi – 13
4.      Psikologi sufi dalam Transformasi Manusia – 15
5.      Metode tasawuf dalam tranformasi manusia – 16
BAB III PENUTUPAN
1.      Kesimpulan – 17
DAFTAR PUSTAKA – 18







BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Sudah menjadi keyakinan kita bahwa Islam mempunyai ajaran yang istimewa dibanding dengan agama yang lain. Diantara ajaran Islam adalah tasawuf yang mana sifat-sifat seorang ahli tasawuf sudah ada pada pribadi Rosulullah SAW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tasawuf merupakan produk ijtihad tentang ajaran Islam yang menekankan pada aspek esetorik (batin).
Bila ditinjau dari segi historis Ibnu Khaldun (w 1406) mengatakan bahwa tasawuf merupakan ajaran Islam yang baru dan bermula dari generasi salaf. Secara metodologis tasawuf merupakan jalan kebenaran dan hidayah Allah, berawal dari sikap pemusatan diri dalam beribadah, berpaling dari hiasan dan pesona dunia , menjauhkan diri dari kelezatan harta dan pangkat yang dikejar oleh mayoritas manusia, mengisolasikan diri (uzlah) dari khalayak manusia untuk bertapa, dan hidup dalam ibadah. Tradisi dan praktik kerohanian ini merupakan fenomena yang umum pada abad II hijriah dan sesudahnya ketika penghidupan duniawi makin marak maka orang-orang lebih berkonsentrasi pada ibadah.

2.      Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian tasawuf itu?
2.         Bagaimana Manajemen kalbu dalam pendekatan tasawuf ?
3.         Bagaimana Hubungan Tasawuf dengan Psikologi ( Ilmu Jiwa)?
3.        Bagaimana psikologi sufi dalam transformasi manusia ?
4.        Bagaimana metode tasawuf dalam tranformasi manusia ?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Tasawuf
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
Secara etimologi, tasawuf berasal dari kata “beranda” atau suffa. Dan pelakunya disebut dengan ahli al-suffa, mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad SAW. Kemudian menurut catatan sejarah, diantara sekian sahabat nabi, yang pertama kali memfilsafatkan ibadah dan dan menjadikan ibadah secara satu yang khusus adalah sahabat Nabi yang bernama Huzaifa bin Al Yamani, beliau adalah salah satu sahabat Nabi yang mulia dan terhormat. Beliaulah yang pertama kali menyampaikan ilmu-ilmu yang kemudian hari kita kenal dengan “Tasawuf” dan beliaulah yang membuka jalan serta teori-teori untuk tasawuf itu.[1]
Secara terminologi, tasawuf memiliki tiga sudut pandang pengertian. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang harus berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah ajaran-ajaran mengenahi keidupan keruhanian, kebersihan jiwa, cara-cara membersihkannya dari berbagai penyakit hati, godaan nafsu, kehidupan duniawi dan bagaimana cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan sufi adalah orang yang menjalankan tasawuf.[2]


2.      Manajemen Kalbu dalam Pendekatan Tasawuf
Dalam pandangan al-Ghazali, pengenalan manusia terhadap dzat-Nya (ma’rifatullah), adalah melalui hatinya. Hatilah yang dapat mengenal-Nya dan ia pula yang dapat mendekatkan manusia kepada-Nya. Hati juga dapat berinteraksi dengan Allah dan selalu berjalan menuju kepada-Nya. Hati merupakan media penyingkap apa yang berada di sisi-Nya serta yang dimiliki-Nya. Fungsi dari semua anggota tubuh manusia tidaklah lebih dari sekedar pengikut atau pembantu hati dalam upaya menuju kepada-Nya. Hati akan memperoleh kemenangan dan merasakan kesenangan jika selalu dekat dengan Allah sepanjang manusia menjaga kebersihannya. Dalam keadaan lain hati akan menderita dan hilang harapannya jika ia dalam keadaan kotor dan berlumuran najis. Ketaatan dan kemungkaran kepada Allah adalah tingkah laku hati yang terefleksi dalam perbuatan lahir. Kegelapan dan terangnya hati akan menampakkan bekasnya dalam bentuk amal perbuatan baik dan buruk, seperti halnya setiap gelas akan memancarkan apa yang ada di dalamnya.
Jika manusia telah mengenal hatinya, berarti dia telah mengenal dirinya. Dan apabila seseorang telah mengenal dirinya sendiri, maka ia telah mengenal Tuhannya. Dan bahwa Allah swt. bersemayam di antara diri dan hati seseorang agar ia dapat menyaksikan-Nya, dapat mengenal sifat-sifat-Nya, mengenal gerak-gerik hati mereka yang berada di antara dua jari Al-Rahman.
Selain itu manusia juga dikaruniai sifat-sifat ketuhanan seperti senang berkuasa, keistimewaan, otoriter, ingin serba tahu dan yang lainnya. Bersamaan dengan itu ia dikaruniai sifat-sifat binatang seperti emosi dan nafsu syahwat. Kesemua karakter itu terdapat di dalam hati manusia.
Dengan demikian dalam diri manusia terdapat empat kombinasi unsur pokok yaitu sifat ketuhanan, sifat setan, sifat kebuasan dan sifat kebinatangan. Empat campuran ini bersenyawa dalam hati, sehingga di balik penampakan luar manusia seakan terkumpul binatang babi, anjing, setan dan orang bijak. Babi diibaratkan oleh al-Ghazali sebagai hawa nafsu, dan anjing diibaratkan amarah; dimana keduanya memiliki kecenderungan berbuat aniaya dan tercela. Setan adalah simbol yang senantiasa mengobarkan hawa nafsu, membangkitkan keberingasan, dan rasa geram yang dimiliki oleh sifat babi dan binatang buas.ia selalu membenarkan tindakan babi dan binatang buas.
Adapun orang bijak, ia adalah perumpamaan akal manusia yang senantiasa berjuang melawan tipu daya setan serta menyingkap tipu muslihatnya dengan pendangan batinnya yang tajam dan kebijakannya yang tegas. Ia bagaikan seorang manajer dari kedua kekuatan anjing dan babi, sehingga apabila ia berhasil mengelola keduanya dengan baik, maka akan terjadi keseimbangan dan keadilan dalam kerajaan badan, hingga seseorang akan berjalan di atas jalan yang lurus. Maka keberhasilan seseorang dalam mengekang syahwat dan amarahnya itu akan memunculkan sifat-sifat pemberani, dermawan, penolong, pengendali hawa nafsu, sabar, murah hati, tabah, pemaaf, tegar pendirian, ramah, cerdas, berwibawa dan sebagainya.
Selain itu hati juga diibaratkan sepeti cermin yang dikelilingi oleh hal-hal potensial yang mengelilinginya. Pengaruh kebaikan akan membuat cermin tersebut semakin bersih, mengkilap, cemerlang dan bersinar. Dengan demikian sinar kebenaran akan terpancar darinya, sehingga hakikat agama akan tersingkap. Mengenai hal ini Nabi bersabda : “ Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Allah menjadikan hatinya sebagai penasihatnya”.(H.R. ad-Dailami). Dan sabdanya : “ Barang siapa mempunyai penasihat dari hatinya, niscaya ada penjaga dari Allah untuknya.” Hati inilah yang selalu mengingat Allah (Q.S. Ar-Ra’du : 28).
Sebaliknya pengaruh keburukan bagi hati adalah ibarat cermin yang diterpa asap hitam, sehingga cermin yang pada dasarnya cemerlang itu menjadi menghitam dan pekat, hingga seluruh permukaannya tersekat dari Allah swt. Inilah maksud firman Allah : “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang mereka usahakan itu menutupi hati mereka”. (Q.S. Al-MuthaffifĂ®n :14). Juga ayat : “.dan kami kunci mati hai mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)” (Al-A’raf : 100).
Apabila dosa telah bertumpuk-tumpuk, ia akan menutupi hati sehingga hati tidak akan mampu mengetahui kebenaran dan kebaikan agama. Ia akan meremehkan urusan akhirat dan mennganggap penting urusan dunia, hingga ia mencurahkan segala pehatiannya pada urusan dunia. Maimun bin Mahran berkata : “Apabila seorang hamba melakukan suatu dosa, maka noda hitam akan melekat di hatinya. Apabila ia menghapusnya dan bertobat, hati terssbut akan mengkilap kembali. Dan apabila ia mengulanng berbuat dosa, maka noda yang ditimbulkan lebih hitam dari noda lama yang telah terhapus, sampai-sampai ia mampu mengalahkan hatinya”. Pendapat ini diperkuat hadits Nabi : “Hati orang mukmin itu bersih, di dalamnya terdapat pelita yang bercahaya. Sedang hati orang kafir itu hitam seluruh permukaannya”. (H.R. Thabrani dan Ahmad).
Terangnya hati dan kemampuannya untuk melihat (ma’rifah) dapat dicapai dengan berdzikir. Dan dzikir tidaklah mungkin dilakukan kecuali oleh orang-orang yang berakwa. Maka taqwa dalah pintu dzikir, dan dzikir adalah pintu tersingkapnya rahasia-rahasia ilahi (al-kasyf), dan al-kasyf adalah kemenangan terbesar, yaitu pertemuan dengan Allah swt.
Perbuatan buruk yang diikuti perbuatan baik akan terhapus nodanya, dan tidak menghitamkan hati. Akan tetapi ia akan dapat mengurangi cahaya hati. Hal ini diibaratkan sepeti cermin yang ditiup kemudian diusap, lalu ditiup dan diusap lagi, maka ia tetaplah keruh.
Adapun masuknya pengaruh-pengaruh yang muncul di dalam hati, dalam keadaan apapun hanya akan muncul melalui sarana lahir yaitu panca indera, atau melalui sarana batin seperti khayalan, syahwat, amarah, dan akhlak yang terbentuk dari tabiat manusia. Manakala panca indera menangkap suatu objek, kesan yang ditimbulkannya akan membekas di dalam hati. Demikian juga apabila syahwat sedang berkobar lantaran terlalu banyak makan atau karena tabiat syahwat memang kuat, maka bekasnya akan sampai pula dalam hati. Jadi hati itu selalu berubah-ubah dan tepengaruh oleh sebab-sebab tertentu.
Dengan demikian menjaga dan memelihara kebersihan hati menjadi sangat penting. Seseorang hendaknya menyibukkan diri menahan serangan-serangan musuhnya (setan melalui was-was). Ia harus betul-betul mengetahui apa yang harus dipersiapkan untuk itu, agar dapat menolak tipu daya setan dan gejolak nafsu. Dari sini diketahui betapa pentingnya berbagai wiridan dan dzikir sebanyak-banyaknya, I’tikaf, khalwat (mengasingkan diri dari hal-hal yang berpretensi maksiat), takhannust (perenungan) dan lainya, sebagaimana Rasulullah melakukannya di gua hira` menjelang wahyu pertama turun.
Mengenai berapa jumlah dzikir dan wiridan yang harus dibaca seseorang (sâlik), para guru (mursyid) biasa menyesuaikannya dengan kondisi rohani setiap orang. Keadaan hati yang sangat gelap tentu saja memerlukan lebih banyak dzikir agar ia dapat segera berpindah dari sata khal (kondisi ruhaniah) ke khal berikutnya yang lebih tinggi, hingga ia dapat segera mencapai tingkatan makrifatullah.
Para pengamal sufisme yang melakukan perjalanan ruhaninya melalui tarekat biasa menyebut usaha menjaga kebersihan, kebeningan dan keselamatan hati ini dengan mujahadah (perjuangan di jalan Tuhan). Al-Hujwiri menyebut bahwa mujahadah adalah usaha bersusah payah dalam melakukan disiplin ibadah yang ketat dan berjuang keras melawan hawa nafsu untuk mencapai musyahadah (penyaksian). Mujahadah adalah bukti kekokohan cinta seorang sufi kepada Yang Satu.
Sebenarnya kemunculan tasawuf sejalan dengan tabligh Nabi Muhammad saw kepada manusia di Arab.
Namun ajaran tasawuf ini diajarkan Nabi Muhammad khusus kepada beberapa sahabatnya yang memiliki tingkat spiritual yang lebih tinggi dibandingkan dengan sahabat lainnya, seperti Ali kwh, dan sebagainya. Tidak semua sahabat beliau yang diajarkan tentang ajaran tasawuf ini, mengapa? jawabnya adalah bukankah nabi Musa as sebagai simbol eksoteris tidak dapat mengikuti “alur pikir” Khidr, simbol pembawa pesan esoteris. Demikian juga dengan para sahabat nabi, tidak semua dapat menjangkau ketinggian ajaran ini. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa ajaran tasawuf belum banyak diketahui saat itu.
Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa tradisi tasawuf ini sudah ada sejak Nabi saw hidup, misalnya :
a.       Nabi Muhammad: Aku adalah orang ‘Arab dengan tanpa huruf ‘ayn (rab), dan Ahmad dengan tanpa huruf mim (ahad). Barang siapa yang yang telah melihatku, maka ia telah melihat Haqq.
b.      Dalam suatu riwayat dikisahkan suatu ketika Aisyah memasuki kamarnya. Nabi yang waktu itu di dalam, bertanya: “Siapa kau?”. “Putri Abu Bakar”, jawabnya. “Siapa Abu Bakar?” tanya beliau. Saat itu barulah Aisyah menyadari bahwa Nabi sedang dalam keadaan yang berbeda.
c.       Nabi Muhammad: Seandainya Abu Dzar mengetahui apa yang tersembunyi di hati Salman, maka dia pasti bakal membunuhnya.
d.      Ali: “Aku mempunyai sejenis pengetahuan dalam batinku, yang bila saja aku membukanya pada orang banyak, niscaya engkau akan gemetar seperti tali panjang yang dijulurkan ke dalam sumur yang amat dalam“. Dalam riwayat lain diriwayatkan melalui Abu Hurairah dengan perbedaan redaksi. Kemungkinan besar Abu Hurairah tidak menyebutkan nama Ali sebagai narasumbernya sebagaimana yang terjadi pada riwayat-riwayat dari Abu Hurairah biasanya.
e.       Pada hari Thaif Rasulullah SAW berbicara berdua saja dengan Ali, maka sebagian sahabat berkata “Lama sekali pembicaraan beliau dengan anak pamannya”. Ketika disampaikan pada Rasul, Beliau SAW berkata “Bukan aku yang berbicara dengannya tetapi Allah yang berbicara dengannya”.
f.       Suatu hari sesudah menunaikan shalat, Nabi melihat seorang pemuda (Haritsah bin Malik bin Nu’man al-Anshari?) yang lemah dan kurus, wajahnya pucat, matanya cekung serta berjalan gontai dan susah payah. Nabi pun lantas bertanya: “Siapakah engkau?” “Aku telah meraih tingkat keimanan tertentu,” jawabnya. “Apa tanda-tandanya?” tanya Nabi. Dia menjawab, “Keimananku itulah yang membuatku sedih, yang menyebabkanku bangun malam dan membuatku senantiasa haus di siang hari (lantaran puasa). itulah yang membuatku lupa akan segala sesuatu di dunia ini. Aku melihat seolah-olah Arsy Allah ditegakkan untuk menghitung amal-amal manusia yang dikumpulkan di padang mahsyar dan aku termasuk salah seorang di antara mereka. Aku melihat para penghuni surga bergembira dan berbahagia, dan para penghuni neraka sedang diazab dan disiksa. bahkan, sekarang ini, telingaku seakan-akan mendengar gelegak api neraka yang demikian dahsyat.” Nabi pun berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan bersabda, “Dia adalah salah seorang yang hatinya telah diterangi Allah dengan cahaya keimanan.” Kemudian beliau menoleh kepada pemuda itu dan bersabda, “Pertahankan keadaanmu seperti sekarang ini, jangan sampai keadaan ini sirna.” Pemuda itu pun menyahut, “Wahai Rasulullah! Tolong doakan aku agar Allah menganugerahkan kesyahidan kepadaku.” Tak lama setelah pertemuan ini, terjadilah peperangan. Pemuda itu kemudian ikut perang dan gugur sebagai syahid.
g.      dan berbagai riwayat lainnya seperti percakapan Imam Ali dengan sahabatnya Kumayl tentang Wali Tuhan yang ada di setiap zaman.
Tatkala Nabi saw wafat, Saidina Abu Bakar meneruskan tali estafet spiritual sentral dari Nabi, meskipun sahabat Nabi lain juga meneruskan dakwah Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar memiliki keunggulan yang diakui oleh sahabat-sahabat lain. Abu Bakar bukan hanya memegang kekhalifahan dunia akan tetapi juga kekhalifahan kerohanian. Saidina Ali adalah sahabat Nabi yang juga meneruskan kepemimpinan kerohanian dari Nabi. Keyakinan akan keunggulan dan afdhaliyah Imam Ali as. di atas para sahabat lainnya telah diyakini sebagian sahabat besar seperti Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, al-Miqdad bin al-Aswad, Khabbab, Jabir ibn Abdillah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqam, dkk.
Seiring dengan berjalannya waktu, tasawuf mulai lebih dikenal pada masa para raja dinasti Islam melakukan berbagai kemajuan dalam Islam, mulai dari penyebaran agama Islam, kemajuan ekonomi, penyerapan ilmu pengetahuan, filsafat dan teknologi. Beberapa latar belakang yang memungkinkan tasawuf mulai dikenal misalnya: kebobrokan moral dan spiritual yang marak seiring dengan kemajuan ekonomi dan kemaksiatan yang merajalela. Kekeringan spiritual tersebut semakin bertambah parah sejalan dengan semakin eksisnya ajaran fiqih yang lebih menekankan pada aspek-aspek lahiriyah dan saling menyalahkan dan memusuhi antar pemeluk mazhab. Selain itu masalah lainnya adalah masuknya filsafat dalam tradisi Islam. Wilayah Islam yang semakin luas menjadi jalan masuk bagi filsafat, cara berpikir wilayah lain dalam tradisi pemikiran Islam. Filsafat Yunani, Persia menjadi salah satu bagian ilmu pengetahuan dalam tradisi umat Islam sehingga memunculkan para filosof Muslim dan ahli kalam yang pada akhirnya filsafat menjadi bintang dalam tradisi Islam. Mereka menggunakannya untuk menjawab segala persoalan yang ada, termasuk tentang Tuhan dan masalah yang berhubungan dengan-Nya.
Pertumbuhan tasawuf yang awal masih minim dengan istilah-istilah asing. Semua penjelasan tasawuf masih sederhana. Namun tatkala filsafat mulai masuk dalam tradisi Islam, istilah-istilah asing mulai dimunculkan. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana jalan hidup bertasawuf, menjelaskan ‘perasaan’ para sufi kepada para murid-murid yang baru memulai perjalanan mistik. Tasawuf juga mengajarkan bahwa untuk ‘menjumpai’ Tuhan bukanlah dengan akal filsafat sebagaimana yang marak saat itu. Tasawuf pulalah yang mengisi kekosongan aspek moral spiritual yang tidak diajarkan dalam hukum fikih saat itu yang hanya mengajarkan dan berdebat tentang aspek-aspek lahiriyah semata.
Namun diterimanya tasawuf di tradisi Islam, bukan tanpa aral. Sebagian tokoh, terutama kalangan ulama fikih menganggap tasawuf bukan dari ajaran Islam, tasawuf ajaran sesat, meninggalkan syariat dan sebagainya. Namun semua tuduhan tersebut terbantahkan, banyak ayat-ayat Qur’an yang menunjukkan kebenaran tasawuf. Semua para sufi besar menempatkan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai landasan mereka. Hanya saja mereka, kelompok penentang tasawuf tidak memahami ajaran tersembunyi dalam al-Qur’an sehingga mereka menentang tasawuf. Bukankah Nabi pernah bersabda: “al-Qur’an mempunyai makna lahir dan batin“. Rumi juga menuliskan bahwa: “al-Qur’an adalah pengantin wanita yang memakai cadar dan menyembunyikan wajahnya darimu. Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan, itu disebabkan caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri, sehingga tampak olehmu ia berwajah buruk. Ia mampu menunjukkan wajahnya dalam cara apapun yang disukainya. apabila engkau melakukan apa-apa yang disukainya dan mencari kebaikan darinya, maka ia akan menunjukkan wajah yang sebenarnya, tanpa perlu kau buka cadarnya“.
Mengenai tuduhan bahwa sufi meninggalkan syariat merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Para tokoh sufi memegang syariat dengan kuat, bahkan lebih teguh daripada para penentangnya. Lihatnya saja bagaimana Abu Yazid al-Bustami – yang pernah ekstase dan mengucapkan “Subhani, subhani, Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada lagi tuhan selain Aku, maka menyembahlah kepada-Ku“,- tidak pernah meludah di tanah di dekat Masjid, tidak pernah makan buah melon karena ia tidak tahu bagaimana sunnah Nabi Muhammad saat memakannya, Bahkan salah satu perintah Tuhan yang difirmankan kepadanya, “Untuk keluar dari keakuanmu, ikutilah kekasih kita, Muhammad orang Arab. Lumurilah matamu dengan debu kakinya dan teruslah mengikuti dia“.

3.      Hubungan Tasawuf dengan Psikologi ( Ilmu Jiwa)
Pembahasan Tasawuf,terutama tasawuf amali, sangat erat kaitanya dengan pembahasan penyucian diri atau jiwa manusia. Dalam hal ini akan terlihat adanya hubungan antara jiwa dan raga manusia, dimana ketika seseorang melakukan proses penyucian jiwa melalui riyadhah, memerangi hawa nafsu (mujahaddah), dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah[3] maka akan terjadi proses transformasi diri. Misalnya ketika seseorang sudah berhasil menahan diri dari sifat amarah, maka akan terpancar pada dirinya sifat penyabar. Karena orang lain akan tahu bahwa seseorang itu penyabar dari penampilan dirinya. Adanya keterkaitan antara jiwa dan raga dalam pembahasan tasawuf inilah yang menjadikan tasawuf erat hubungannya dengan psikologi yang banyak membahas tentang jiwa. Dan sekarang ini kajian tentang jiwa yang  lebih ditekankan pada personality (kepribadian) disebut dengan Transpersonal Psikologi. Kalau dulu istilahnya kesehatan mental.
Problem kepribadian (mental) meliputi semua unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap, dan persaaan; yang mana semua itu akan sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi masalah. Dalam hal inilah muncul dua kondisi manusia yaitu yang sehat mental dan yang kurang sehat mental.
Orang yang sehat mental adalah orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan pribadinya. Misalnya ketika ada  masalah dia tidak mudah stress, tapi mencoba mencari solusi pemecahannya dengan cara mencari sebab-sebab permasalahannya. Orang yang sehat mentalnya tentulah tercermin dalam diri orang yang baik kepribadiannya yang sangat tercermin dalam tingkah laku atau akhlaknya. Dia tidak akan sombong ketika memiliki kelebihan dari yang lain; dia tidak akan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati yang lain dsb. Pada porsi inilah ajaran-ajarn tasawuf sangat menunjang. Misalnya ketika seseorang sangat bersedih karena kehilangan seseorang yang sangat dicintainya, maka ajaran tasawuf mengatakan bahwa semua ini milik Allah dan akan kembali kepadaNya. Pada orang yang resah dan galau, maka ajaran tasawuf akan mengatakan dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang.

4        Psikologi Sufi Untuk Transformasi
Perbincangan mengenai psikologi sufi tidak pernah surut ditelan masa walaupun bagi sebagian orang yang hidup pada zaman modern, hal tersebut tidak terlalu signifikan dan cenderung memuakkan. Hal tersebut karena gaya hidup pada zaman tersebut serba rasional dan sekuler, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi. Padahal, kenyataannya orang yang hidup dizaman modern yang serba rasional dan sekuler yang ditopang oleh perkembangan teknologi dan informasi tidak dapat melepaskan belenggu dirinya dari kebutuhan terhadap dimensi spiritualitas yang kita sebut sebagai psikologi sufi.[4]
Psikologi sufi merupakan bagian dari perkembangan disiplin pengetahuan tasawuf dalam islam. Pengetahuan tersebut adalah salah satu dari empat pilar disiplin pengetahuan dalam islam yang harus dikuasai. Empat pilar pengetahuan tersebut adalah fiqh, kalam, falsafah, dan tasawuf.[5]
Sesuai dengan disiplinnya, tasawuf menempati tingkatan teratas karena karena dalam pengertiannya yang universal,tasawuf mencakup dimensi mistik dan mengakui kebenaran
mendasar dari seluruh agama. Agama bagaikan sebatang pohon yang berakar pada amalan-amalan dan memiliki dahan-dahan mistisisme serta berbuah kebenaran. Oleh karena itu, orang yang telah berhasil mencapai tingkatan ini selalu mencari persamaan dari pada perbedaan.
Dalam bukunya Robert Frager yang berjudul Psikologi Sufi untuk Transformasi terjemahan Hasmiyah Rauf, Robert Frager mengungkapkan bahwa tasawuf merupakan pendekatan holostik yang mengintegrasikan fisik,psikis, dan spirit serta membimbing jiwa untuk tidak terjebak ke dalam bahaya model yang linear dan hierarkis yang cenderung mengenyampigkan dan membenarkan penindasan terhadap kaum perempuan dan minoritas. Tasawuf adalah disiplin pengetahuan atau spiritual yang dapat dimiliki oleh budaya, siapapun, kapan pun, dan dimana pun.[6]
Dalam buku tersebut, hati dijelaskan sebagai sesuatu yang identik dengan spiritualitas. Ketulusan, niat baik, belas kasih, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan spiritualitas bersumber dari hati. Oleh karena itu, kita cenderung mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki ketulusan, niat baik, belas kasih, dan sebagainya merupakan orang yang tidak memiliki hati. Dalam psikologi sufi, hati memiliki kecerdasan dan kearifan terdalam. Kecerdasan yang dimiliki oleh hati lebih mendalam dan mendasar daripada kecerdasan yang kecerdasan yang cenderung abstrak, yang dimiliki oleh akal kita. Hati juga menyimpan roh ilahiah. Karenanya, bagi para sufi hati adalah kuil Tuhan dan rumah cinta. Semakin kita menggunakan hati kita untuk belajar mencintai orang lain, kita semakin mampu mencintai Tuhan.
Adapun diri atau nafs dalam psikologi sufi merupakan sebuah aspek psikis pertama yang menjadi musuh kita. Nafs bisa menjadi teman yang sangat berharga bagi kita dan tak terhingga nilainya. Secara sederhana nafs memiliki beberapa tingkatan, dan tingkatan terendah adalah nafs tirani sedangkan tingkat tertinggi adalah nafs yang suci. Pada tingkat ini, kepribadian mencapai tingkat yang optimal bagaikan mencapai tingkat kesempurnaan yang dapat memantulkan cahaya Ilahi.
Sedangkan jiwa dalam psikologi sufi, jiwa diidentikan dengan sesuatu yang selalu berevolusi. Jiwa memiliki tujuh aspek yaitu mineral, nabati, hewani, pribadi, insani, rahasia, dan maharahasia. Secara umum, ketujuh aspek jiwa tersebut dapat dicapai secara bertahap dan tasawuf bertujuan agar ketujuh tingkat kesadaran ini bekerja secara seimbang dan harmonis.[7]


5        Metode Tasawuf dalam Transformasi Manusia
Tasawuf sebagai metode pendekatan diri kepada Allah bisa melalui banyak jalan.
a.       Jalan Hati.
Mengabdi kepada Allah adalah salah satu praktik mendasar dalam menempuh jalan tasawuf. Niat pengabdian dan penghambaan diri hanya kepda Allah pada akhirnya membuahkan rasa Cinta. Dan ketika rasa Cinta ini sudah membara maka tidak ada lain dalam kehidupan ini selain ingin selalu bersama dengan yang dicinta. Rumi dalam sebuah syairnya menulis:
               Sejak kudengar dunia Cinta
               Kuserahkan hidupku, hatiku
               Dan mataku di jalan ini
               Mulanya, aku meyakini bahwa cinta
               Dan yang dicintai adalah berbeda
               Kini, kupahami mereka adalah sama
               Aku melihat keduanya dalam kesatuan.
b.      Jalan Akal.
Kearifan seorang sufi tidak hanya ditandai dengan pengetahuan yang ada dalam kepalanya, namun juga menerapkanya. Karena bagi seorang sufi seorang sarjana yang tidak mempraktikkan apa yang telah dipelajarinya bagaikan seekor keledai yang mengangkut banyak buku.
c.       Jalan Kelompok.
Sebagai makhluk sosial manusia cenderung untuk memebentuk sebuah kelompok atau komunitas. Nah jalan tasawuf bisa juga dengan cara berkelompok. Mereka kemudian melakukan praktik spiritualnya secara bersama-sama dalam wirid mingguan, manakib bulanan dsb; dimana dalam kelompok tersebut ada seorang Syekh atau pemimpin yang senantiasa memberikan pelajaran.
d.    Jalan Pelayanan.
Jalan pendekatan ini lebih erat kaitannya dengan aktifitas sosial, kepedulian terhadap sesama dengan melakukan kebaikan-kebaikan. Bukankah dalam ajaran Islam juga disebutkan bahwa tidak beriman seseorang ketika dia tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya dalam keadaan lapar.
e.       Jalan Zikir.
Jalan berzikir, jalan mengingat Allah adalah salah satu jalan pendekatan diri. Tentu dalam berdizikir ini ada yang bersifat jahr, dengan lisan, ada yang bersifat kalbu dengan hati. Dengan senantiasa berdizikir inilah kita akan senantiasa memusatkan perhatian kita kepada Allah.[8]






BAB III
PENUTUPAN

1.      Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Para sufi telah sepakat bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai penyaksian Tuhan (musyahadah) adalah dengan kesucian jiwa. Hati manusia merupakan refleksi dzat Tuhan yang suci, dan karena itu hati manusia harus mencapai tingkat kesucian dan kesempurnaan. Untuk mencapai hal itu setiap muslim haruslah memiliki semangat dan ketekunan yang kontinu untuk dapat sampai dan memperoleh hati yang bening, bersih dan selamat (qalbun salîm).
Menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali, kemuliaan dan keutamaan manusia terletak pada kesiapan manusia untuk mengenal (ma’rifah) Allah sang Pencipta. Karena pengenalan manusia kepada Allah itulah manusia memperoleh keindahan, kesempurnaan dan kebanggaan hidup di dunia, dan kelak di akhirat ia akan memperoleh apa yang dijanjikan oleh-Nya











DAFTAR PUSTAKA

        Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Muhammad Alfan, Psikologi Tasawuf,  Pustaka Setia, Bandung, 2011.
Mustafa Zahri, Kinci Memahami Ilmu Tasawuf, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
Nurcholish Madjid,Islam Doktrin Peradaban,Yayasan Waqaf Paramadina, Jakarta,1992.
Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa:Psikologi Sufi untuk Transformasi, Terj.Hasmiyah Rauf, Serambi, Jakarta, 2005.



[1] Mustafa Zahri,Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hlm.155
[2] http://juansyah.wordpress.com/2011/08/04/tasawuf
[3] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 8
[4] http://darul-ulum.blogspot.com/2008/09/hati-diri-dan-jiwa-psikologi-sufi-untuk.html
[5] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Peradaban,Yayasan Waqaf Paramadina, Jakarta,1992,hlm.205
[6] Robert Frager, Hati,Diri,dan Jiwa:Psikologi Sufi untuk Transformasi,Terj.Hasmiyah Rauf, Serambi, Jakarta, 2005, hlm.76-78.
[7] Muhammad Alfan, Psikologi Tasawuf,  Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm.42-43
[8] http://harkaman01.wordpress.com/2013/05/15/tasawuf-dan-psikologi-ilmu-jiwa/