BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bentuk-bentuk akad jual beli yang
telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak.
Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Salah satunya adalah
jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria
yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan.
Dengan menggunakan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada
unsur tipu-menipu atau gharar (untung-untungan).
Jual-beli dengan cara salam merupakan
solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari riba. Dan ini
merupakan salah satu hikmah disebutkannya syari'at jual-beli salam sesuai
larangan memakan riba.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari jual-beli salam?.
2. Apa
dasar hukum tentang jual-beli salam?.
3. Apa
saja rukun dan syarat jual-beli salam?.
4. Apa
saja ketentuan umum tentang jual-beli salam?.
5. Bagaimana
menentukan waktu penyerahan barang dalam jual beli salam?.
6. Bagaimana
hubungan antara salam dan bay mausuf fi dzimmah?.
7. Apa
perbedaan jual-beli salam dengan ijon?.
8. Bagaimana
implementasi jual-beli salam di lembaga keuangan syariah?.
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui pengertian jual-beli salam.
2. Untuk
mengetahui dasar hukum tentang jual-beli salam.
3. Untuk
mengetahui rukun dan syarat jual-beli salam.
4. Untuk
mengetahui ketentuan umum tentang jual-beli salam.
5. Untuk
mengetahui waktu penyerahan barang dalam jual-beli salam.
6. Untuk
mengetahui hubungan antara salam dan bay mausuf fi dzimmah.
7. Untuk
mengetahui perbedaan jual-beli salam dengan ijon.
8. Untuk
mengetahui implementasi jual-beli salam di lembaga keuangan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jual-Beli Salam
Secara
bahasa salam (سلم)
adalah al-i’tha’ (الإعطاء)
dan at-taslif (التسليف) dimana
keduanya bermakna pemberian. Sedangkan secara istilah syariah, akad salam
didefinisikan oleh para fuqaha yaitu
jual beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan
pembayaran yang dilakukan saat itu juga.
Jual
beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau
memberi uang di depan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian hari atau
waktu yang telah ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh
ditanggungkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.[1] Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan
pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward
buying atau future sale) dengan harga,
spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta
disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Fuqaha
menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak
ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik
modal membutuhkan barang untuk dibeli, sedangkan pemilik barang butuh uang dari
harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan
terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia
Dalam
pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ayat 34 mendefinikasikan salam
sebagai jasa pembiayaan yang dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.
Sebagai contoh, Pak Ali memesan sejumlah pakaian kepada toko Arto. Pak Ali
menjelaskan spesifikasi pakaian yang dipesannya dan membayar harga pakaian
tersebut. Setelah pakaian ada, toko Arto mengirim pakaian kepada pak Ali.
Selain
itu juga terdapat macam salam yaitu salam paralel. Dimana pengertian salam
paralel adalah melaksanakan dua transaksi bai as-salam antara bank dan nasabah,
dan diantara bank dan pemasok atau pihak ketiga secara silmutan.
Dewan
Pengawas Syariah Rajhi Banking dan Investment Corporation telah menetapkan
fatwa yang membolehkan praktek salam paralel dengan syarat pelaksanaan
transaksi salam kedua tidak tergantung pada pelaksanaan akad salam yang
pertama.[2]
Beberapa
ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel terutama jika perdagangan
dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga
akan menjurus kepada riba.
B.
Dasar
Hukum Jual-Beli Salam
Jual beli salam dilaksanakan berdasarkan
pada ayat al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’.
1. Al-Qur’an
Ayat
yang menjadi landasan pelaksanaan jual beli salam adalah surat al-Baqarah ayat
282:
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
kamu menjalankan sesuatu urusan dengan hutang piutang yang diberi tempo hingga
ke suatu masa yang tertentu, maka hendaknya kamu menulis itu.”
Berkaitan
dengan ayat di atas sebagai dasar hukum jual beli alam atau salaf Ibnu Abas
mengatakan “Aku bersaksi bahwa salaf merupakan bagian dari hutang dengan tempo
(ajalin musamma) yang diizinkan dan dihalalkan oleh Allah.”
2.
As-Sunnah
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-
قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ
فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ
فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa
setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah
maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa
tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa
meminjamkan sesuatu."
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى،
وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:(
كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ
يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ
وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ
ذَلِك) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata:
Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka
berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk
suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua
perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).[3]
Abdullah
bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda
pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi
Aufa.Lantas saya tanyakan kepadanya perihal itu.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada
masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah
mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula
bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga.(Bukhari).[4]
Berdasarkan dalil di atas dan juga
lainnya, para ulama’ telah menyepakati akan disyari’atkanya jual-beli salam.
Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam
memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan. Dan
persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah
disyari’atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror
(untung-untungan).
3. Ijma’
Mengutip dari
perkataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah
sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan
keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Dari berbagai landasan di atas,
jelaslah bahwa akad salam diperbolehkan sebagai kegiatan bermuamalah sesama
manusia.
C.
Rukun
dan Syarat Jual-Beli Salam
a. Rukun
jual beli salam
Jumhur ulama
berpandangan bahwa rukun salam ada tiga, yaitu:
1. Aqidani
(dua orang yang melakukan transaksi) yaitu orang yang memesan (muslam) dan yang menerima pesanan (muslam ilaih).
2. Obyek
transaski, yaitu harga (tsaman)
dan barang yang dipesan (muslam fiih).
3. Sighat,
yaitu ijab dan qabul.[5]
b. Syarat
jual beli salam
Ulama telah bersepakat
bahwa salam diperbolehkan dengan syarat sebagai berikut:
1. Jenis
obyek jual beli salam harus jelas
2. Sifat
obyek jual beli salam harus jelas
3. Kadar
atau ukuran obyek jual beli salam harus jelas
4. Jangka
waktu pemesanan objek jual beli salam harus jelas
5. Asumsi
modal yang dikeluarkan harus diketahui masing-masing pihak.
KHES
pasal 103 ayat 1-3 menyebutkan syarat
slam sebagai berikut: “ (1) Jual beli salam dapat dilakukan dengan syarat
kuantitas dan kualitas barang yang sudah jelas. (2) Kuantitas barang dapat
diukur dengan takaran, timbangan, dan meteran. (3) Spesifikasi barang yang
dipesan harus diketahui secara sempurna oleh para pihak.”
Persyaratan
slam, khususnya syarat modal dan barang secara lebih rinci dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Syarat
Modal
Modal dalam salam harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Harus
jelas jenisnya, misalnya satuan rupiah, dolar atau mata uang lainnya bila modal
berupa uang tunai; bisa juga barang yang bernilai dan terukur, misalnya satuan
kilogram atau satuan meteran dan sejenisnya bila modal berupa barang;
b) Harus
jelas macamnya, bila dalam suatu negara terdiri dari beberapa mata uang. Bila
modal berupa barang, misalnya beras, harus jelas beras jenis apa;
c) Harus
jelas sifatnya dan kualitasnya, baik sedang atau buruk; ketiga syarat ini untuk
menghindari ketidakjelasan modal yang diberikan pembeli kepada penjual,
sehingga mencegah terjadinya perselisihan di antara penjual dan pembeli;
d) Harus
jelas kadar modal bila modal memang suatu yang berkadar. Hal ini tidak cukup
dengan isyarat, harus jelas dan eksplisit;
e) Modal
harus segera diserahkan di tempat akad atau transaksi sebelum kedua belah pihak
berpisah; apabila kedua belah pihak berpisah sebelum pemesan memberikan
modalnya, maka akad dianggap rusak atau tidak sah.[6]
2) Syarat
barang yang dipesan (muslam fiih)
a) Disebutkan
semua sifat dan kriterianya dengan detail sesuai apa yang diinginkan oleh
pemesan.
b) Wujud
barang harus sesuai dengan yang dikehendaki tersebut.
c) Harus
bisa terdekti sifat dan kadarnya, bukan seperti:
1. Barang
yang terbuat dari beberapa jenis bahan utama, seperti bubur harisah (dari
tepung dan daging), es jus, STMJ, dll.
2. Tidak
dibuat dengan cara dimasak, direbus, digoreng, dioven, dipanggang, atau
dibakar.
3. Barang
langka sepertin buah mangga bukan pada musimnya.
d) Barang
harus tidak hadir dan belum bisa dilihat ketika akad berlangsung, meskipun penyerahanya
bisa disepakati saat itu juga.
3) Sighat
Yaitu transaksi
kesepakatan saling ridha dari kedua belah pihak. Syarat-syaratnya antara lain
sebagai berikut:
a) Jika
penyerahan barang ditempo (muajjal)
maka harus dijelaskan waktu jatuh temponya dan tempat penyerahannya.
b) Kondisi
muslam fih adalah barang yang dipesan bukan seperti barang langka.
c) Akad
salam harus (naajidzaan)
d) Penyerahan
modal harus secara hakiki sebelum berpisah dari tempat akad. Jika secara hukmi
tidak sah, seperti penyerahan menggunakan akad.
D.
Ketentuan
Umum Tentang Jual-Beli Salam
Hal-hal lain yang
terkait dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1
DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
1. Ketentuan
Pembayaran Uang Kas
a.
Alat bayar harus diketahui jumlah dan
bentuknya, baik berupa uang, barang,
atau manfaat.
b.
Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance).
c.
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’
(pembebasan utang).
2.
Ketentuan Barang
a.
Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan
dapat diakui sebagai utang.
b.
Penyerahan dilakukan kemudian.
c.
Waktu dan tempat penyerahan barang harus
ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan.
d.
Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum
barang tersebut diterimanya (qabadh).
e.
Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan
barang sejenis sesuai kesepakatan.
3. Penyerahan
Barang
Penjual harus
menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan kuantitas
sesuai kesepakatan.Jika penjual menyerahkan barang dengan
kualitas yang lebih tinggi, maka penjual tidak boleh
meminta tambahan harga sebagai ganti kualitas yang lebih baik tersebut.
Jika penjual
menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, pembeli mempunyai
pilihan untuk menolak atau menerimanya, apabila pembeli
rela menerimanya, maka pembeli tidak boleh meminta pengurangan harga (diskon).
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih menyerahkan muslam fiih yang berbeda dari yang telah
disepakati.
Penjual dapat
menyerahkan barang lebih cepat dari yang telah disepakati, dengan
beberapa syarat:
a. Kualitas dan
kuantitas barang sesuai dengan kesepakatan, tidak boleh lebih
tinggi ataupun lebih rendah.
b.
Tidak boleh menuntut tambahan harga
Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu penyerahan
atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka pembeli
memiliki dua pilihan:
1)
Membatalkan kontrak dan meminta kembali
uang.
Pembatalan
kontrak dengan pengembalian uang pembelian, menurut jumhur ulama, dimungkinkan
dalam kontrak salam. Pembatalan penuh pengiriman muslam
fihi dapat
dilakukan sebagai ganti pembayaran kembali seluruh modal salam yang telah
dibayarkan. Demikian juga pembatalan sebagian penyerahan barang dapat dilakukan
dengan mengembalikan sebagian modal.
Pembatalan kontrak boleh
dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi konflik di
antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui pengadilan
agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS (Badan
Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian
sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka
tertutuplah peranan pengadilan agama.
2)
Menunggu sampai barang tersedia.
E.
Menentukan
Waktu Penyerahan Barang dalam Jual-Beli Salam
Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha
memiliki pendapat sebagai berikut:
1.
Hanafi menetapkan periode penyerahan
barang pada satu bulan. Untuk beberapa penundaan, selambat-lambatnya adalah
tiga hari. Tapi, jika penjual meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam
mencapai kematangan. Dalam Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan
“Jika penjual meninggal dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapi belum
menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, barang tersebut dianggap barang
titipan kepunyaan pembeli yang ada di tangan penjual.
2.
Menurut Syafi’i, salam dapat segera dan
tertunda.
3.
Menurut Malik, penundaan tidak boleh
kurang dari 15 hari.
F.
Antara
Salam dan Bay Mausuf fi Dzimmah
Praktek
memesan barang jika menggunakan kata “beli” sambil menyebutkan kriteria secara
detail maka disebut bay mausuf fi dzimmah dan secara umum ketentuan hukumnya
pun sama dengan akad salam seperti di atas. Akan tetapi bay mausuf fi dzimmah
memiliki kriteria khusus dalam hal uang pembayarannya, yaitu:
1. Harus
diperlihatkan dan tidak perlu dibayarkan pada saat akad itu juga.
2. Boleh
ditukar dengan barang lain atau istibdal.
3. Penyerahannya
boleh menggunakan sistem () sebagaimana di atas.[7]
G.
Perbedaan
Jual-Beli Salam dengan Ijon
Banyak
orang yang menyamakan bai sa-salam dengan ijon. Padahal terdapat perbedaan besar
di antara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang
secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli sangat tergantung
kepada keputusan sepihak. Sedangkan transaksi bai as-salam mengharuskan adanya
dua hal:
1. Pengukuran
dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadist Rasulullah
yang diriwayatkan oleh Ibnu ABBAS “ Barang siapa melakukan transaksi salaf
(salam), maka hendaknya ia melakukan takaran yang jels, timbangan yang jelas,
dan untuk waktu yang jelas pula.
2. Adanya
keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. hal ini tercermin dalam menyepaktti
harga. Allah berfirman: ”Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka
sama suka di antara kalian.” (Q.S. An Nisa: 29).
H.
Implementasi
Jual-Beli Salam di Lembaga Keuangan Syariah
Bai
as-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu
yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah
barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan
barang-barang tersebut sebagai simpanan atau investory, maka dilakukan akad bai
as-salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan
glosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal dengan salam paralel.
Bai
as-salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya
produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barangnya sudah dikenal umum. Caranya,
saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan
penggunaan produk tersebut. Hal itu berarti bahwa, bank memesan dari pembuat
garmen tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian
mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah
direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen itu telah selesai
diproduksi, maka produk tersebut akan diantarkan kepada rekanan tersebut.
Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian
jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan
atau memberi uang di depan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian hari
atau waktu yang telah ditentukan. Sedangkan pengertian salam paralel adalah
melaksanakan dua transaksi bai as-salam antara bank dan nasabah, dan diantara
bank dan pemasok atau pihak ketiga secara silmutan.
Dasar
hukum jual beli salam terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’. Rukun
jual beli salam ada tiga, yaitu aqidani, obyek transaksi, dan sighat. Sedangkan
syarat jual beli salam menurut kesepakatan para ulama ada lima, yaitu jenis
obyek jual beli salam harus jelas, sifat obyek jual beli salam harus jelas,
kadar atau ukuran obyek jual beli salam harus jelas, jangka waktu pemesanan
objek jual beli salam harus jelas, asumsi modal yang dikeluarkan harus
diketahui masing-masing pihak. Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1
April 2000 adalah ketentuan pembayaran uang kas, ketentuan barang, dan
penyerahan barang. Waktu penyerahan barang dalam jual-beli salam, yaitu: (1)
Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. (2) Menurut
Syafi’i, salam dapat segera dan tertunda. (3) Menurut Malik, penundaan tidak
boleh kurang dari 15 hari.
Bay
mausuf fi dzimmah adalah praktek dengan memesan barang dengan menggunakan kata “beli” sambil menyebutkan
kriteria secara detail. Perbedaan bai as-salam dengan ijon adalah dalam ijon,
barang yang dibeli tidak ditimbang secara jelas dan spesifik dan penentuan
harga bergantung pada keputusan sepihak. Sedangkan bai as-salam spesifikasi
barangnya ditimbang secara spesifik dan jelas dan terdapat saling ridha di
antara kedua belah pihak. Implementasi bai as-salam biasanya digunakan pada
pembiayaan bagi petani dan pembiayaan barang industri.
[1] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru
Algensido, 2011), hal. 294.
[2] M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal.110.
[3]Ibnu
Hajar Al-‘Atsqolany. Bulughul Maram min
Adillatil ahkam, (Surabaya: Mutiara
Ilmu, 2011), hal. 382-383.
[4] Veithzal Rivai. dkk, Islamic Bussiness and Economic Ethics:
Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis,
Keuangan, dan Ekonomi, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2012), hal. 357.
[5] Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 113-114.
[6]
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut:
Dar Al-Fikr, 2005), V/268.
[7] Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah,
(Jawa Timur: Pustaka Blog Agung, 2014), hal. 36-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar