Jumat, 24 Juni 2016

JUAL BELI SALAM



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Salah satunya adalah jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Dengan menggunakan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau gharar (untung-untungan).
Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari riba. Dan ini merupakan salah satu hikmah disebutkannya syari'at jual-beli salam sesuai larangan memakan riba.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari jual-beli salam?.
2.      Apa dasar hukum tentang jual-beli salam?.
3.      Apa saja rukun dan syarat jual-beli salam?.
4.      Apa saja ketentuan umum tentang jual-beli salam?.
5.      Bagaimana menentukan waktu penyerahan barang dalam jual beli salam?.
6.      Bagaimana hubungan antara salam dan bay mausuf fi dzimmah?.
7.      Apa perbedaan jual-beli salam dengan ijon?.
8.      Bagaimana implementasi jual-beli salam di lembaga keuangan syariah?.
C.       Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian jual-beli salam.
2.      Untuk mengetahui dasar hukum tentang jual-beli salam.
3.      Untuk mengetahui rukun dan syarat jual-beli salam.
4.      Untuk mengetahui ketentuan umum tentang jual-beli salam.
5.      Untuk mengetahui waktu penyerahan barang dalam jual-beli salam.
6.      Untuk mengetahui hubungan antara salam dan bay mausuf fi dzimmah.
7.      Untuk mengetahui perbedaan jual-beli salam dengan ijon.
8.      Untuk mengetahui implementasi jual-beli salam di lembaga keuangan syariah.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Jual-Beli Salam
Secara bahasa salam (­­سلم) adalah al-i’tha’ (الإعطاء) dan at-taslif (التسليف) dimana keduanya bermakna pemberian. Sedangkan secara istilah syariah, akad salam didefinisikan oleh para fuqaha yaitu jual beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran yang dilakukan saat itu juga.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang di depan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian hari atau waktu yang telah ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditanggungkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.[1] Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada  masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan barang untuk dibeli, sedangkan pemilik barang butuh uang dari harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia
Dalam pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ayat 34 mendefinikasikan salam sebagai jasa pembiayaan yang dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang. Sebagai contoh, Pak Ali memesan sejumlah pakaian kepada toko Arto. Pak Ali menjelaskan spesifikasi pakaian yang dipesannya dan membayar harga pakaian tersebut. Setelah pakaian ada, toko Arto mengirim pakaian kepada pak Ali.
Selain itu juga terdapat macam salam yaitu salam paralel. Dimana pengertian salam paralel adalah melaksanakan dua transaksi bai as-salam antara bank dan nasabah, dan diantara bank dan pemasok atau pihak ketiga secara silmutan.
Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking dan Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktek salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama.[2]
Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada riba.
B.       Dasar Hukum Jual-Beli Salam
       Jual beli salam dilaksanakan berdasarkan pada ayat al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’.
1.      Al-Qur’an
Ayat yang menjadi landasan pelaksanaan jual beli salam adalah surat al-Baqarah ayat 282:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menjalankan sesuatu urusan dengan hutang piutang yang diberi tempo hingga ke suatu masa yang tertentu, maka hendaknya kamu menulis itu.”
Berkaitan dengan ayat di atas sebagai dasar hukum jual beli alam atau salaf Ibnu Abas mengatakan “Aku bersaksi bahwa salaf merupakan bagian dari hutang dengan tempo (ajalin musamma) yang diizinkan dan dihalalkan oleh Allah.”
2.      As-Sunnah
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك)  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ 

Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).[3]
            Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi Aufa.Lantas saya tanyakan kepadanya perihal itu.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga.(Bukhari).[4]
Berdasarkan dalil di atas dan juga lainnya, para ulama’ telah menyepakati akan disyari’atkanya jual-beli salam. Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan. Dan persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah disyari’atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror (untung-untungan).
3.      Ijma’
Mengutip dari perkataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salam diperbolehkan sebagai kegiatan bermuamalah sesama manusia.
C.      Rukun dan Syarat Jual-Beli Salam
a.       Rukun jual beli salam
Jumhur ulama berpandangan bahwa rukun salam ada tiga, yaitu:
1.      Aqidani (dua orang yang melakukan transaksi) yaitu orang yang memesan (muslam) dan yang menerima pesanan (muslam ilaih).
2.      Obyek transaski, yaitu harga (tsaman) dan barang yang dipesan (muslam fiih).
3.      Sighat, yaitu ijab dan qabul.[5]
b.      Syarat jual beli salam
Ulama telah bersepakat bahwa salam diperbolehkan dengan syarat sebagai berikut:
1.      Jenis obyek jual beli salam harus jelas
2.      Sifat obyek jual beli salam harus jelas
3.      Kadar atau ukuran obyek jual beli salam harus jelas
4.      Jangka waktu pemesanan objek jual beli salam harus jelas
5.      Asumsi modal yang dikeluarkan harus diketahui masing-masing pihak.
KHES pasal 103  ayat 1-3 menyebutkan syarat slam sebagai berikut: “ (1) Jual beli salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan kualitas barang yang sudah jelas. (2) Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran, timbangan, dan meteran. (3) Spesifikasi barang yang dipesan harus diketahui secara sempurna oleh para pihak.”
Persyaratan slam, khususnya syarat modal dan barang secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Syarat Modal
Modal dalam salam harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a)      Harus jelas jenisnya, misalnya satuan rupiah, dolar atau mata uang lainnya bila modal berupa uang tunai; bisa juga barang yang bernilai dan terukur, misalnya satuan kilogram atau satuan meteran dan sejenisnya bila modal berupa barang;
b)      Harus jelas macamnya, bila dalam suatu negara terdiri dari beberapa mata uang. Bila modal berupa barang, misalnya beras, harus jelas beras jenis apa;
c)      Harus jelas sifatnya dan kualitasnya, baik sedang atau buruk; ketiga syarat ini untuk menghindari ketidakjelasan modal yang diberikan pembeli kepada penjual, sehingga mencegah terjadinya perselisihan di antara penjual dan pembeli;
d)     Harus jelas kadar modal bila modal memang suatu yang berkadar. Hal ini tidak cukup dengan isyarat, harus jelas dan eksplisit;
e)      Modal harus segera diserahkan di tempat akad atau transaksi sebelum kedua belah pihak berpisah; apabila kedua belah pihak berpisah sebelum pemesan memberikan modalnya, maka akad dianggap rusak atau tidak sah.[6]
2)      Syarat barang yang dipesan (muslam fiih)
a)      Disebutkan semua sifat dan kriterianya dengan detail sesuai apa yang diinginkan oleh pemesan.
b)      Wujud barang harus sesuai dengan yang dikehendaki tersebut.
c)      Harus bisa terdekti sifat dan kadarnya, bukan seperti:
1.      Barang yang terbuat dari beberapa jenis bahan utama, seperti bubur harisah (dari tepung dan daging), es jus, STMJ, dll.
2.      Tidak dibuat dengan cara dimasak, direbus, digoreng, dioven, dipanggang, atau dibakar.
3.      Barang langka sepertin buah mangga bukan pada musimnya.
d)     Barang harus tidak hadir dan belum bisa dilihat ketika akad berlangsung, meskipun penyerahanya bisa disepakati saat itu juga.
3)      Sighat
Yaitu transaksi kesepakatan saling ridha dari kedua belah pihak. Syarat-syaratnya antara lain sebagai berikut:
a)      Jika penyerahan barang ditempo (muajjal) maka harus dijelaskan waktu jatuh temponya dan tempat penyerahannya.
b)      Kondisi muslam fih adalah barang yang dipesan bukan seperti barang langka.
c)      Akad salam harus (naajidzaan)
d)     Penyerahan modal harus secara hakiki sebelum berpisah dari tempat akad. Jika secara hukmi tidak sah, seperti penyerahan menggunakan akad.


D.      Ketentuan Umum Tentang Jual-Beli Salam
Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
1.   Ketentuan Pembayaran Uang Kas
a.       Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang, atau manfaat.
b.      Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance).
c.       Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang).
2.      Ketentuan Barang
a.       Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang.
b.      Penyerahan dilakukan kemudian.
c.       Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan.
d.      Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh).
e.       Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
3.   Penyerahan Barang
Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan kuantitas sesuai kesepakatan.Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, maka penjual tidak boleh meminta tambahan harga sebagai ganti kualitas yang lebih baik tersebut.
Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, pembeli mempunyai pilihan untuk menolak atau menerimanya, apabila pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak bo­leh meminta pengurangan harga (diskon). Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih menyerahkan muslam fiih yang berbeda dari yang telah disepakati.
Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari yang telah disepakati, dengan beberapa syarat:
a.    Kualitas dan kuantitas barang sesuai dengan kesepakatan, tidak boleh lebih tinggi ataupun lebih rendah.
b.    Tidak boleh menuntut tambahan harga
     Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu pe­nyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela me­nerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
1)   Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
Pembatalan kontrak dengan pengembalian uang pembelian, menurut jumhur ulama, dimungkinkan dalam kontrak salam. Pembatalan penuh pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai ganti pembayaran kembali seluruh modal salam yang telah dibayarkan. Demikian juga pembatalan sebagian penyerahan barang dapat dilakukan dengan mengembalikan sebagian modal.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi konflik di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama.
2)   Menunggu sampai barang tersedia.
E.       Menentukan Waktu Penyerahan Barang dalam Jual-Beli Salam
Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha memiliki pendapat sebagai berikut:
1.      Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk beberapa penundaan, selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapi belum menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan pembeli yang ada di tangan penjual. 
2.      Menurut Syafi’i, salam dapat segera dan tertunda.
3.      Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.
F.       Antara Salam dan Bay Mausuf fi Dzimmah
Praktek memesan barang jika menggunakan kata “beli” sambil menyebutkan kriteria secara detail maka disebut bay mausuf fi dzimmah dan secara umum ketentuan hukumnya pun sama dengan akad salam seperti di atas. Akan tetapi bay mausuf fi dzimmah memiliki kriteria khusus dalam hal uang pembayarannya, yaitu:
1.      Harus diperlihatkan dan tidak perlu dibayarkan pada saat akad itu juga.
2.      Boleh ditukar dengan barang lain atau istibdal.
3.      Penyerahannya boleh menggunakan sistem () sebagaimana di atas.[7]
G.      Perbedaan Jual-Beli Salam dengan Ijon
Banyak orang yang menyamakan bai sa-salam dengan ijon. Padahal terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan sepihak. Sedangkan transaksi bai as-salam mengharuskan adanya dua hal:
1.      Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu ABBAS “ Barang siapa melakukan transaksi salaf (salam), maka hendaknya ia melakukan takaran yang jels, timbangan yang jelas, dan untuk waktu yang jelas pula.
2.      Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. hal ini tercermin dalam menyepaktti harga. Allah berfirman: ”Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka di antara kalian.” (Q.S. An Nisa: 29).
H.      Implementasi Jual-Beli Salam di Lembaga Keuangan Syariah
Bai as-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau investory, maka dilakukan akad bai as-salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan glosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal dengan salam paralel.
Bai as-salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barangnya sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal itu berarti bahwa, bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen itu telah selesai diproduksi, maka produk tersebut akan diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.







BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Pengertian jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang di depan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian hari atau waktu yang telah ditentukan. Sedangkan pengertian salam paralel adalah melaksanakan dua transaksi bai as-salam antara bank dan nasabah, dan diantara bank dan pemasok atau pihak ketiga secara silmutan.
Dasar hukum jual beli salam terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’. Rukun jual beli salam ada tiga, yaitu aqidani, obyek transaksi, dan sighat. Sedangkan syarat jual beli salam menurut kesepakatan para ulama ada lima, yaitu jenis obyek jual beli salam harus jelas, sifat obyek jual beli salam harus jelas, kadar atau ukuran obyek jual beli salam harus jelas, jangka waktu pemesanan objek jual beli salam harus jelas, asumsi modal yang dikeluarkan harus diketahui masing-masing pihak. Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000 adalah ketentuan pembayaran uang kas, ketentuan barang, dan penyerahan barang. Waktu penyerahan barang dalam jual-beli salam, yaitu: (1) Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. (2) Menurut Syafi’i, salam dapat segera dan tertunda. (3) Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.
Bay mausuf fi dzimmah adalah praktek dengan memesan barang dengan  menggunakan kata “beli” sambil menyebutkan kriteria secara detail. Perbedaan bai as-salam dengan ijon adalah dalam ijon, barang yang dibeli tidak ditimbang secara jelas dan spesifik dan penentuan harga bergantung pada keputusan sepihak. Sedangkan bai as-salam spesifikasi barangnya ditimbang secara spesifik dan jelas dan terdapat saling ridha di antara kedua belah pihak. Implementasi bai as-salam biasanya digunakan pada pembiayaan bagi petani dan pembiayaan barang industri.










[1] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2011), hal. 294.
[2] M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal.110.
[3]Ibnu Hajar Al-‘Atsqolany. Bulughul Maram min Adillatil ahkam, (Surabaya:  Mutiara Ilmu, 2011), hal. 382-383.
[4] Veithzal Rivai. dkk, Islamic Bussiness and Economic Ethics: Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hal. 357.
[5] Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 113-114.
[6] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2005), V/268.

[7] Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, (Jawa Timur: Pustaka Blog Agung, 2014), hal. 36-37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar