MANAJEMEN KALBU DALAM PENDEKATAN TASAWUF DAN
TRANFORMASI MANUSIA
Makalah
ini di susun guna untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen
Pengampu : Wawan Trans Pujianto. M.Kom.I
DI SUSUN OLEH :
1.
ARIF
ZULBAHRI 141258710
2.
DEVITA
ROSALIA 141260210
3.
FITRIANA
ABDULLAH 141263910
4.
RIMA
NURMALA SARI 141272210
PROGRAM
STUDI : S1 PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN : SYARIAH
DAN EKOMONI ISLAMI
KELAS : B
SEMESTER : 1
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2014/2015
KATA PENGATAR
Puji
dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan pertolongannya,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan.
Penulisan makalah ini dibuat adalah
sebagai media pembelajaran di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Jurai Siwo
Metro dalam rangka memenuhi tugas diperguruan tinggi yang berkaitan dengan
bahan pembelajaran.
Penyusunan menyadari bahwa dalam
penyusunan kata atau kalimat dan tata letak dalam makalah ini tentunya banyak
sekali kekurangan dan kekhilafan, baik kata atau kalimat dan tata letak.
Untuk kebaikan dan sempurnanya
makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Dan akhirnya
semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, penyusun dan mahasiswa.
Metro,
Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGATAR – 2
DAFTAR
ISI – 3
BAB I PENDAHULAN
1.
Latar Belakang –
4
2.
Rumusan Masalah
– 4
BAB II PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Tasawuf – 5
2.
Manajemen Kalbu
dalam pendekatan tasawuf – 6
3.
Hubungan Tasawuf
dengan Psikologi – 13
4.
Psikologi sufi
dalam Transformasi Manusia – 15
5.
Metode tasawuf dalam
tranformasi manusia – 16
BAB III PENUTUPAN
1.
Kesimpulan – 17
DAFTAR
PUSTAKA – 18
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sudah menjadi keyakinan kita bahwa Islam mempunyai ajaran yang
istimewa dibanding dengan agama yang lain. Diantara ajaran Islam adalah tasawuf
yang mana sifat-sifat seorang ahli tasawuf sudah ada pada pribadi Rosulullah
SAW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tasawuf merupakan produk ijtihad
tentang ajaran Islam yang menekankan pada aspek esetorik (batin).
Bila ditinjau dari segi historis Ibnu Khaldun (w 1406) mengatakan
bahwa tasawuf merupakan ajaran Islam yang baru dan bermula dari generasi salaf.
Secara metodologis tasawuf merupakan jalan kebenaran dan hidayah Allah, berawal
dari sikap pemusatan diri dalam beribadah, berpaling dari hiasan dan pesona
dunia , menjauhkan diri dari kelezatan harta dan pangkat yang dikejar oleh
mayoritas manusia, mengisolasikan diri (uzlah) dari khalayak manusia untuk
bertapa, dan hidup dalam ibadah. Tradisi dan praktik kerohanian ini merupakan
fenomena yang umum pada abad II hijriah dan sesudahnya ketika penghidupan
duniawi makin marak maka orang-orang lebih berkonsentrasi pada ibadah.
2.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian tasawuf
itu?
2.
Bagaimana Manajemen
kalbu dalam pendekatan tasawuf ?
3.
Bagaimana Hubungan Tasawuf
dengan Psikologi ( Ilmu Jiwa)?
3.
Bagaimana psikologi sufi dalam transformasi manusia ?
4. Bagaimana metode tasawuf dalam tranformasi manusia ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Tasawuf
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai
usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada
Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
Secara etimologi, tasawuf berasal dari kata
“beranda” atau suffa. Dan pelakunya disebut dengan ahli al-suffa, mereka
dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi
Muhammad SAW. Kemudian menurut catatan sejarah, diantara sekian sahabat nabi,
yang pertama kali memfilsafatkan ibadah dan dan menjadikan ibadah secara satu
yang khusus adalah sahabat Nabi yang bernama Huzaifa bin Al Yamani, beliau
adalah salah satu sahabat Nabi yang mulia dan terhormat. Beliaulah yang pertama
kali menyampaikan ilmu-ilmu yang kemudian hari kita kenal dengan “Tasawuf” dan
beliaulah yang membuka jalan serta teori-teori untuk tasawuf itu.[1]
Secara terminologi, tasawuf memiliki tiga sudut
pandang pengertian. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas.
Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai
makhluk yang harus berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri dengan
akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa tasawuf adalah ajaran-ajaran mengenahi keidupan keruhanian, kebersihan
jiwa, cara-cara membersihkannya dari berbagai penyakit hati, godaan nafsu,
kehidupan duniawi dan bagaimana cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sedangkan sufi adalah orang yang menjalankan tasawuf.[2]
2.
Manajemen Kalbu dalam Pendekatan Tasawuf
Dalam pandangan al-Ghazali, pengenalan manusia terhadap dzat-Nya
(ma’rifatullah), adalah melalui hatinya. Hatilah yang dapat mengenal-Nya dan ia
pula yang dapat mendekatkan manusia kepada-Nya. Hati juga dapat berinteraksi
dengan Allah dan selalu berjalan menuju kepada-Nya. Hati merupakan media
penyingkap apa yang berada di sisi-Nya serta yang dimiliki-Nya. Fungsi dari
semua anggota tubuh manusia tidaklah lebih dari sekedar pengikut atau pembantu
hati dalam upaya menuju kepada-Nya. Hati akan memperoleh kemenangan dan
merasakan kesenangan jika selalu dekat dengan Allah sepanjang manusia menjaga
kebersihannya. Dalam keadaan lain hati akan menderita dan hilang harapannya
jika ia dalam keadaan kotor dan berlumuran najis. Ketaatan dan kemungkaran
kepada Allah adalah tingkah laku hati yang terefleksi dalam perbuatan lahir.
Kegelapan dan terangnya hati akan menampakkan bekasnya dalam bentuk amal
perbuatan baik dan buruk, seperti halnya setiap gelas akan memancarkan apa yang
ada di dalamnya.
Jika manusia telah mengenal hatinya,
berarti dia telah mengenal dirinya. Dan apabila seseorang telah mengenal
dirinya sendiri, maka ia telah mengenal Tuhannya. Dan bahwa Allah swt.
bersemayam di antara diri dan hati seseorang agar ia dapat menyaksikan-Nya,
dapat mengenal sifat-sifat-Nya, mengenal gerak-gerik hati mereka yang berada di
antara dua jari Al-Rahman.
Selain itu manusia juga dikaruniai
sifat-sifat ketuhanan seperti senang berkuasa, keistimewaan, otoriter, ingin
serba tahu dan yang lainnya. Bersamaan dengan itu ia dikaruniai sifat-sifat
binatang seperti emosi dan nafsu syahwat. Kesemua karakter itu terdapat di
dalam hati manusia.
Dengan demikian dalam diri manusia
terdapat empat kombinasi unsur pokok yaitu sifat ketuhanan, sifat setan, sifat
kebuasan dan sifat kebinatangan. Empat campuran ini bersenyawa dalam hati,
sehingga di balik penampakan luar manusia seakan terkumpul binatang babi,
anjing, setan dan orang bijak. Babi diibaratkan oleh al-Ghazali sebagai hawa
nafsu, dan anjing diibaratkan amarah; dimana keduanya memiliki kecenderungan
berbuat aniaya dan tercela. Setan adalah simbol yang senantiasa mengobarkan
hawa nafsu, membangkitkan keberingasan, dan rasa geram yang dimiliki oleh sifat
babi dan binatang buas.ia selalu membenarkan tindakan babi dan binatang buas.
Adapun orang bijak, ia adalah
perumpamaan akal manusia yang senantiasa berjuang melawan tipu daya setan serta
menyingkap tipu muslihatnya dengan pendangan batinnya yang tajam dan
kebijakannya yang tegas. Ia bagaikan seorang manajer dari kedua kekuatan anjing
dan babi, sehingga apabila ia berhasil mengelola keduanya dengan baik, maka
akan terjadi keseimbangan dan keadilan dalam kerajaan badan, hingga seseorang
akan berjalan di atas jalan yang lurus. Maka keberhasilan seseorang dalam
mengekang syahwat dan amarahnya itu akan memunculkan sifat-sifat pemberani,
dermawan, penolong, pengendali hawa nafsu, sabar, murah hati, tabah, pemaaf,
tegar pendirian, ramah, cerdas, berwibawa dan sebagainya.
Selain itu hati juga diibaratkan
sepeti cermin yang dikelilingi oleh hal-hal potensial yang mengelilinginya.
Pengaruh kebaikan akan membuat cermin tersebut semakin bersih, mengkilap,
cemerlang dan bersinar. Dengan demikian sinar kebenaran akan terpancar darinya,
sehingga hakikat agama akan tersingkap. Mengenai hal ini Nabi bersabda : “ Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi
seorang hamba, maka Allah menjadikan hatinya sebagai penasihatnya”.(H.R.
ad-Dailami). Dan sabdanya : “ Barang
siapa mempunyai penasihat dari hatinya, niscaya ada penjaga dari Allah untuknya.”
Hati inilah yang selalu mengingat Allah
(Q.S. Ar-Ra’du : 28).
Sebaliknya pengaruh keburukan bagi
hati adalah ibarat cermin yang diterpa asap hitam, sehingga cermin yang pada
dasarnya cemerlang itu menjadi menghitam dan pekat, hingga seluruh permukaannya
tersekat dari Allah swt. Inilah maksud firman Allah : “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang mereka usahakan itu
menutupi hati mereka”. (Q.S. Al-MuthaffifĂ®n :14). Juga ayat : “.dan kami kunci mati hai mereka sehingga
mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)” (Al-A’raf : 100).
Apabila dosa telah bertumpuk-tumpuk,
ia akan menutupi hati sehingga hati tidak akan mampu mengetahui kebenaran dan
kebaikan agama. Ia akan meremehkan urusan akhirat dan mennganggap penting
urusan dunia, hingga ia mencurahkan segala pehatiannya pada urusan dunia.
Maimun bin Mahran berkata : “Apabila seorang hamba melakukan suatu dosa, maka
noda hitam akan melekat di hatinya. Apabila ia menghapusnya dan bertobat, hati
terssbut akan mengkilap kembali. Dan apabila ia mengulanng berbuat dosa, maka
noda yang ditimbulkan lebih hitam dari noda lama yang telah terhapus,
sampai-sampai ia mampu mengalahkan hatinya”. Pendapat ini diperkuat hadits Nabi
: “Hati orang mukmin itu bersih, di dalamnya terdapat pelita yang bercahaya.
Sedang hati orang kafir itu hitam seluruh permukaannya”. (H.R. Thabrani dan
Ahmad).
Terangnya hati dan kemampuannya
untuk melihat (ma’rifah) dapat dicapai dengan berdzikir. Dan dzikir tidaklah
mungkin dilakukan kecuali oleh orang-orang yang berakwa. Maka taqwa dalah pintu
dzikir, dan dzikir adalah pintu tersingkapnya rahasia-rahasia ilahi (al-kasyf),
dan al-kasyf adalah kemenangan terbesar, yaitu pertemuan dengan Allah swt.
Perbuatan buruk yang diikuti
perbuatan baik akan terhapus nodanya, dan tidak menghitamkan hati. Akan tetapi
ia akan dapat mengurangi cahaya hati. Hal ini diibaratkan sepeti cermin yang
ditiup kemudian diusap, lalu ditiup dan diusap lagi, maka ia tetaplah keruh.
Adapun masuknya pengaruh-pengaruh
yang muncul di dalam hati, dalam keadaan apapun hanya akan muncul melalui
sarana lahir yaitu panca indera, atau melalui sarana batin seperti khayalan,
syahwat, amarah, dan akhlak yang terbentuk dari tabiat manusia. Manakala panca
indera menangkap suatu objek, kesan yang ditimbulkannya akan membekas di dalam
hati. Demikian juga apabila syahwat sedang berkobar lantaran terlalu banyak
makan atau karena tabiat syahwat memang kuat, maka bekasnya akan sampai pula
dalam hati. Jadi hati itu selalu berubah-ubah dan tepengaruh oleh sebab-sebab
tertentu.
Dengan demikian menjaga dan
memelihara kebersihan hati menjadi sangat penting. Seseorang hendaknya
menyibukkan diri menahan serangan-serangan musuhnya (setan melalui was-was). Ia
harus betul-betul mengetahui apa yang harus dipersiapkan untuk itu, agar dapat
menolak tipu daya setan dan gejolak nafsu. Dari sini diketahui betapa
pentingnya berbagai wiridan dan dzikir sebanyak-banyaknya, I’tikaf, khalwat
(mengasingkan diri dari hal-hal yang berpretensi maksiat), takhannust
(perenungan) dan lainya, sebagaimana Rasulullah melakukannya di gua hira`
menjelang wahyu pertama turun.
Mengenai berapa jumlah dzikir dan
wiridan yang harus dibaca seseorang (sâlik), para guru (mursyid) biasa
menyesuaikannya dengan kondisi rohani setiap orang. Keadaan hati yang sangat
gelap tentu saja memerlukan lebih banyak dzikir agar ia dapat segera berpindah
dari sata khal (kondisi ruhaniah) ke khal berikutnya yang lebih tinggi, hingga
ia dapat segera mencapai tingkatan makrifatullah.
Para pengamal sufisme yang melakukan
perjalanan ruhaninya melalui tarekat biasa menyebut usaha menjaga kebersihan,
kebeningan dan keselamatan hati ini dengan mujahadah (perjuangan di jalan
Tuhan). Al-Hujwiri menyebut bahwa mujahadah adalah usaha bersusah payah dalam
melakukan disiplin ibadah yang ketat dan berjuang keras melawan hawa nafsu
untuk mencapai musyahadah (penyaksian). Mujahadah adalah bukti kekokohan cinta
seorang sufi kepada Yang Satu.
Sebenarnya kemunculan tasawuf
sejalan dengan tabligh Nabi Muhammad saw kepada manusia di Arab.
Namun ajaran tasawuf ini diajarkan
Nabi Muhammad khusus kepada beberapa sahabatnya yang memiliki tingkat spiritual
yang lebih tinggi dibandingkan dengan sahabat lainnya, seperti Ali kwh, dan
sebagainya. Tidak semua sahabat beliau yang diajarkan tentang ajaran tasawuf
ini, mengapa? jawabnya adalah bukankah nabi Musa as sebagai simbol eksoteris
tidak dapat mengikuti “alur pikir” Khidr, simbol pembawa pesan esoteris.
Demikian juga dengan para sahabat nabi, tidak semua dapat menjangkau ketinggian
ajaran ini. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa ajaran tasawuf belum
banyak diketahui saat itu.
Ada beberapa riwayat yang
menunjukkan bahwa tradisi tasawuf ini sudah ada sejak Nabi saw hidup, misalnya
:
a. Nabi
Muhammad: Aku adalah orang ‘Arab dengan tanpa huruf ‘ayn (rab), dan Ahmad
dengan tanpa huruf mim (ahad). Barang siapa yang yang telah melihatku, maka ia
telah melihat Haqq.
b. Dalam suatu
riwayat dikisahkan suatu ketika Aisyah memasuki kamarnya. Nabi yang waktu itu
di dalam, bertanya: “Siapa kau?”. “Putri Abu Bakar”, jawabnya. “Siapa Abu
Bakar?” tanya beliau. Saat itu barulah Aisyah menyadari bahwa Nabi sedang dalam
keadaan yang berbeda.
c. Nabi
Muhammad: Seandainya Abu Dzar mengetahui apa yang tersembunyi di hati
Salman, maka dia pasti bakal membunuhnya.
d. Ali: “Aku
mempunyai sejenis pengetahuan dalam batinku, yang bila saja aku membukanya pada
orang banyak, niscaya engkau akan gemetar seperti tali panjang yang dijulurkan
ke dalam sumur yang amat dalam“. Dalam riwayat lain diriwayatkan melalui
Abu Hurairah dengan perbedaan redaksi. Kemungkinan besar Abu Hurairah tidak
menyebutkan nama Ali sebagai narasumbernya sebagaimana yang terjadi pada
riwayat-riwayat dari Abu Hurairah biasanya.
e. Pada hari
Thaif Rasulullah SAW berbicara berdua saja dengan Ali, maka sebagian sahabat
berkata “Lama sekali pembicaraan beliau dengan anak pamannya”. Ketika
disampaikan pada Rasul, Beliau SAW berkata “Bukan aku yang berbicara
dengannya tetapi Allah yang berbicara dengannya”.
f. Suatu hari
sesudah menunaikan shalat, Nabi melihat seorang pemuda (Haritsah bin Malik bin
Nu’man al-Anshari?) yang lemah dan kurus, wajahnya pucat, matanya cekung serta
berjalan gontai dan susah payah. Nabi pun lantas bertanya: “Siapakah engkau?”
“Aku telah meraih tingkat keimanan tertentu,” jawabnya. “Apa tanda-tandanya?”
tanya Nabi. Dia menjawab, “Keimananku itulah yang membuatku sedih, yang
menyebabkanku bangun malam dan membuatku senantiasa haus di siang hari
(lantaran puasa). itulah yang membuatku lupa akan segala sesuatu di dunia ini.
Aku melihat seolah-olah Arsy Allah ditegakkan untuk menghitung amal-amal
manusia yang dikumpulkan di padang mahsyar dan aku termasuk salah seorang di
antara mereka. Aku melihat para penghuni surga bergembira dan berbahagia, dan
para penghuni neraka sedang diazab dan disiksa. bahkan, sekarang ini, telingaku
seakan-akan mendengar gelegak api neraka yang demikian dahsyat.” Nabi pun
berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan bersabda, “Dia adalah salah seorang
yang hatinya telah diterangi Allah dengan cahaya keimanan.” Kemudian beliau
menoleh kepada pemuda itu dan bersabda, “Pertahankan keadaanmu seperti sekarang
ini, jangan sampai keadaan ini sirna.” Pemuda itu pun menyahut, “Wahai
Rasulullah! Tolong doakan aku agar Allah menganugerahkan kesyahidan kepadaku.”
Tak lama setelah pertemuan ini, terjadilah peperangan. Pemuda itu kemudian ikut
perang dan gugur sebagai syahid.
g. dan berbagai
riwayat lainnya seperti percakapan Imam Ali dengan sahabatnya Kumayl tentang
Wali Tuhan yang ada di setiap zaman.
Tatkala Nabi
saw wafat, Saidina Abu Bakar meneruskan tali estafet spiritual sentral dari
Nabi, meskipun sahabat Nabi lain juga meneruskan dakwah Nabi. Tidak diragukan
lagi bahwa Abu Bakar memiliki keunggulan yang diakui oleh sahabat-sahabat lain.
Abu Bakar bukan hanya memegang kekhalifahan dunia akan tetapi juga kekhalifahan
kerohanian. Saidina Ali adalah sahabat Nabi yang juga meneruskan kepemimpinan
kerohanian dari Nabi. Keyakinan akan keunggulan dan afdhaliyah Imam Ali as. di
atas para sahabat lainnya telah diyakini sebagian sahabat besar seperti Salman
al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, al-Miqdad bin al-Aswad, Khabbab, Jabir ibn
Abdillah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqam, dkk.
Seiring
dengan berjalannya waktu, tasawuf mulai lebih dikenal pada masa para raja
dinasti Islam melakukan berbagai kemajuan dalam Islam, mulai dari penyebaran
agama Islam, kemajuan ekonomi, penyerapan ilmu pengetahuan, filsafat dan
teknologi. Beberapa latar belakang yang memungkinkan tasawuf mulai dikenal
misalnya: kebobrokan moral dan spiritual yang marak seiring dengan kemajuan
ekonomi dan kemaksiatan yang merajalela. Kekeringan spiritual tersebut semakin
bertambah parah sejalan dengan semakin eksisnya ajaran fiqih yang lebih
menekankan pada aspek-aspek lahiriyah dan saling menyalahkan dan memusuhi antar
pemeluk mazhab. Selain itu masalah lainnya adalah masuknya filsafat dalam tradisi
Islam. Wilayah Islam yang semakin luas menjadi jalan masuk bagi filsafat, cara
berpikir wilayah lain dalam tradisi pemikiran Islam. Filsafat Yunani, Persia
menjadi salah satu bagian ilmu pengetahuan dalam tradisi umat Islam sehingga
memunculkan para filosof Muslim dan ahli kalam yang pada akhirnya filsafat
menjadi bintang dalam tradisi Islam. Mereka menggunakannya untuk menjawab
segala persoalan yang ada, termasuk tentang Tuhan dan masalah yang berhubungan
dengan-Nya.
Pertumbuhan tasawuf yang awal masih minim
dengan istilah-istilah asing. Semua penjelasan tasawuf masih sederhana. Namun
tatkala filsafat mulai masuk dalam tradisi Islam, istilah-istilah asing mulai
dimunculkan. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana jalan hidup
bertasawuf, menjelaskan ‘perasaan’ para sufi kepada para murid-murid yang baru
memulai perjalanan mistik. Tasawuf juga mengajarkan bahwa untuk ‘menjumpai’
Tuhan bukanlah dengan akal filsafat sebagaimana yang marak saat itu. Tasawuf
pulalah yang mengisi kekosongan aspek moral spiritual yang tidak diajarkan
dalam hukum fikih saat itu yang hanya mengajarkan dan berdebat tentang
aspek-aspek lahiriyah semata.
Namun diterimanya tasawuf di tradisi
Islam, bukan tanpa aral. Sebagian tokoh, terutama kalangan ulama fikih
menganggap tasawuf bukan dari ajaran Islam, tasawuf ajaran sesat, meninggalkan
syariat dan sebagainya. Namun semua tuduhan tersebut terbantahkan, banyak
ayat-ayat Qur’an yang menunjukkan kebenaran tasawuf. Semua para sufi besar
menempatkan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai landasan mereka. Hanya saja
mereka, kelompok penentang tasawuf tidak memahami ajaran tersembunyi dalam
al-Qur’an sehingga mereka menentang tasawuf. Bukankah Nabi pernah bersabda: “al-Qur’an
mempunyai makna lahir dan batin“. Rumi juga menuliskan bahwa: “al-Qur’an
adalah pengantin wanita yang memakai cadar dan menyembunyikan wajahnya darimu.
Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan, itu disebabkan
caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri, sehingga tampak olehmu ia
berwajah buruk. Ia mampu menunjukkan wajahnya dalam cara apapun yang
disukainya. apabila engkau melakukan apa-apa yang disukainya dan mencari
kebaikan darinya, maka ia akan menunjukkan wajah yang sebenarnya, tanpa perlu
kau buka cadarnya“.
Mengenai tuduhan bahwa sufi meninggalkan
syariat merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Para tokoh sufi memegang syariat
dengan kuat, bahkan lebih teguh daripada para penentangnya. Lihatnya saja
bagaimana Abu Yazid al-Bustami – yang pernah ekstase dan mengucapkan “Subhani,
subhani, Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada lagi tuhan selain Aku, maka
menyembahlah kepada-Ku“,- tidak pernah meludah di tanah di dekat Masjid,
tidak pernah makan buah melon karena ia tidak tahu bagaimana sunnah Nabi
Muhammad saat memakannya, Bahkan salah satu perintah Tuhan yang difirmankan
kepadanya, “Untuk keluar dari keakuanmu, ikutilah kekasih kita, Muhammad
orang Arab. Lumurilah matamu dengan debu kakinya dan teruslah mengikuti dia“.
3.
Hubungan Tasawuf
dengan Psikologi ( Ilmu Jiwa)
Pembahasan
Tasawuf,terutama tasawuf amali, sangat erat kaitanya dengan pembahasan
penyucian diri atau jiwa manusia. Dalam hal ini akan terlihat adanya hubungan
antara jiwa dan raga manusia, dimana ketika seseorang melakukan proses
penyucian jiwa melalui riyadhah, memerangi hawa nafsu (mujahaddah), dan
melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah[3] maka akan terjadi proses transformasi diri. Misalnya
ketika seseorang sudah berhasil menahan diri dari sifat amarah, maka akan
terpancar pada dirinya sifat penyabar. Karena orang lain akan tahu bahwa
seseorang itu penyabar dari penampilan dirinya. Adanya keterkaitan antara jiwa
dan raga dalam pembahasan tasawuf inilah yang menjadikan tasawuf erat
hubungannya dengan psikologi yang banyak membahas tentang jiwa. Dan sekarang
ini kajian tentang jiwa yang lebih ditekankan pada personality
(kepribadian) disebut dengan Transpersonal Psikologi. Kalau dulu istilahnya
kesehatan mental.
Problem
kepribadian (mental) meliputi semua unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap,
dan persaaan; yang mana semua itu akan sangat mempengaruhi perilaku seseorang
dalam menghadapi masalah. Dalam hal inilah muncul dua kondisi manusia yaitu
yang sehat mental dan yang kurang sehat mental.
Orang yang
sehat mental adalah orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan pribadinya.
Misalnya ketika ada masalah dia tidak mudah stress, tapi mencoba mencari
solusi pemecahannya dengan cara mencari sebab-sebab permasalahannya. Orang yang
sehat mentalnya tentulah tercermin dalam diri orang yang baik kepribadiannya
yang sangat tercermin dalam tingkah laku atau akhlaknya. Dia tidak akan sombong
ketika memiliki kelebihan dari yang lain; dia tidak akan mengucapkan kata-kata
yang menyakitkan hati yang lain dsb. Pada porsi inilah ajaran-ajarn tasawuf sangat
menunjang. Misalnya ketika seseorang sangat bersedih karena kehilangan
seseorang yang sangat dicintainya, maka ajaran tasawuf mengatakan bahwa semua
ini milik Allah dan akan kembali kepadaNya. Pada orang yang resah dan galau,
maka ajaran tasawuf akan mengatakan dengan mengingat Allah hati akan menjadi
tenang.
4
Psikologi Sufi Untuk Transformasi
Perbincangan
mengenai psikologi sufi tidak pernah surut ditelan masa walaupun bagi sebagian
orang yang hidup pada zaman modern, hal tersebut tidak terlalu signifikan dan
cenderung memuakkan. Hal tersebut karena gaya hidup pada zaman tersebut serba
rasional dan sekuler, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi.
Padahal, kenyataannya orang yang hidup dizaman modern yang serba rasional dan
sekuler yang ditopang oleh perkembangan teknologi dan informasi tidak dapat
melepaskan belenggu dirinya dari kebutuhan terhadap dimensi spiritualitas yang
kita sebut sebagai psikologi sufi.[4]
Psikologi
sufi merupakan bagian dari perkembangan disiplin pengetahuan tasawuf dalam
islam. Pengetahuan tersebut adalah salah satu dari empat pilar disiplin
pengetahuan dalam islam yang harus dikuasai. Empat pilar pengetahuan tersebut
adalah fiqh, kalam, falsafah, dan tasawuf.[5]
Sesuai
dengan disiplinnya, tasawuf menempati tingkatan teratas karena karena dalam
pengertiannya yang universal,tasawuf mencakup dimensi mistik dan mengakui
kebenaran
mendasar
dari seluruh agama. Agama bagaikan sebatang pohon yang berakar pada
amalan-amalan dan memiliki dahan-dahan mistisisme serta berbuah kebenaran. Oleh
karena itu, orang yang telah berhasil mencapai tingkatan ini selalu mencari
persamaan dari pada perbedaan.
Dalam
bukunya Robert Frager yang berjudul Psikologi Sufi untuk Transformasi
terjemahan Hasmiyah Rauf, Robert Frager mengungkapkan bahwa tasawuf merupakan
pendekatan holostik yang mengintegrasikan fisik,psikis, dan spirit serta
membimbing jiwa untuk tidak terjebak ke dalam bahaya model yang linear dan
hierarkis yang cenderung mengenyampigkan dan membenarkan penindasan terhadap
kaum perempuan dan minoritas. Tasawuf adalah disiplin pengetahuan atau
spiritual yang dapat dimiliki oleh budaya, siapapun, kapan pun, dan dimana pun.[6]
Dalam buku
tersebut, hati dijelaskan sebagai sesuatu yang identik dengan spiritualitas.
Ketulusan, niat baik, belas kasih, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
spiritualitas bersumber dari hati. Oleh karena itu, kita cenderung mengatakan
bahwa orang yang tidak memiliki ketulusan, niat baik, belas kasih, dan
sebagainya merupakan orang yang tidak memiliki hati. Dalam psikologi sufi, hati
memiliki kecerdasan dan kearifan terdalam. Kecerdasan yang dimiliki oleh hati
lebih mendalam dan mendasar daripada kecerdasan yang kecerdasan yang cenderung
abstrak, yang dimiliki oleh akal kita. Hati juga menyimpan roh ilahiah.
Karenanya, bagi para sufi hati adalah kuil Tuhan dan rumah cinta. Semakin kita
menggunakan hati kita untuk belajar mencintai orang lain, kita semakin mampu
mencintai Tuhan.
Adapun diri
atau nafs dalam psikologi sufi merupakan sebuah aspek psikis pertama yang
menjadi musuh kita. Nafs bisa menjadi teman yang sangat berharga bagi kita dan
tak terhingga nilainya. Secara sederhana nafs memiliki beberapa tingkatan, dan
tingkatan terendah adalah nafs tirani sedangkan tingkat tertinggi adalah nafs
yang suci. Pada tingkat ini, kepribadian mencapai tingkat yang optimal bagaikan
mencapai tingkat kesempurnaan yang dapat memantulkan cahaya Ilahi.
Sedangkan
jiwa dalam psikologi sufi, jiwa diidentikan dengan sesuatu yang selalu
berevolusi. Jiwa memiliki tujuh aspek yaitu mineral, nabati, hewani, pribadi,
insani, rahasia, dan maharahasia. Secara umum, ketujuh aspek jiwa tersebut
dapat dicapai secara bertahap dan tasawuf bertujuan agar ketujuh tingkat
kesadaran ini bekerja secara seimbang dan harmonis.[7]
5
Metode Tasawuf dalam Transformasi Manusia
Tasawuf
sebagai metode pendekatan diri kepada Allah bisa melalui banyak jalan.
a. Jalan Hati.
Mengabdi kepada Allah adalah salah
satu praktik mendasar dalam menempuh jalan tasawuf. Niat pengabdian dan
penghambaan diri hanya kepda Allah pada akhirnya membuahkan rasa Cinta. Dan
ketika rasa Cinta ini sudah membara maka tidak ada lain dalam kehidupan ini
selain ingin selalu bersama dengan yang dicinta. Rumi dalam sebuah syairnya
menulis:
Sejak kudengar dunia Cinta
Kuserahkan hidupku, hatiku
Dan mataku di jalan ini
Mulanya, aku meyakini bahwa cinta
Dan yang dicintai adalah berbeda
Kini, kupahami mereka
adalah sama
Aku melihat keduanya dalam kesatuan.
b.
Jalan Akal.
Kearifan seorang sufi tidak hanya
ditandai dengan pengetahuan yang ada dalam kepalanya, namun juga menerapkanya.
Karena bagi seorang sufi seorang sarjana yang tidak mempraktikkan apa yang
telah dipelajarinya bagaikan seekor keledai yang mengangkut banyak buku.
c.
Jalan
Kelompok.
Sebagai makhluk sosial manusia
cenderung untuk memebentuk sebuah kelompok atau komunitas. Nah jalan tasawuf
bisa juga dengan cara berkelompok. Mereka kemudian melakukan praktik
spiritualnya secara bersama-sama dalam wirid mingguan, manakib bulanan dsb;
dimana dalam kelompok tersebut ada seorang Syekh atau pemimpin yang senantiasa
memberikan pelajaran.
d. Jalan
Pelayanan.
Jalan pendekatan ini lebih erat
kaitannya dengan aktifitas sosial, kepedulian terhadap sesama dengan melakukan
kebaikan-kebaikan. Bukankah dalam ajaran Islam juga disebutkan bahwa tidak
beriman seseorang ketika dia tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya
dalam keadaan lapar.
e.
Jalan Zikir.
Jalan berzikir, jalan mengingat
Allah adalah salah satu jalan pendekatan diri. Tentu dalam berdizikir ini ada
yang bersifat jahr, dengan lisan, ada yang bersifat kalbu dengan hati. Dengan
senantiasa berdizikir inilah kita akan senantiasa memusatkan perhatian kita
kepada Allah.[8]
BAB III
PENUTUPAN
1.
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa, Para sufi telah sepakat bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai
penyaksian Tuhan (musyahadah) adalah dengan kesucian jiwa. Hati manusia
merupakan refleksi dzat Tuhan yang suci, dan karena itu hati manusia harus
mencapai tingkat kesucian dan kesempurnaan. Untuk mencapai hal itu setiap
muslim haruslah memiliki semangat dan ketekunan yang kontinu untuk dapat sampai
dan memperoleh hati yang bening, bersih dan selamat (qalbun salîm).
Menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali, kemuliaan dan keutamaan manusia terletak
pada kesiapan manusia untuk mengenal (ma’rifah) Allah sang Pencipta. Karena
pengenalan manusia kepada Allah itulah manusia memperoleh keindahan,
kesempurnaan dan kebanggaan hidup di dunia, dan kelak di akhirat ia akan
memperoleh apa yang dijanjikan oleh-Nya
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim
Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan
Psikologi, Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Muhammad Alfan,
Psikologi Tasawuf, Pustaka Setia,
Bandung, 2011.
Mustafa Zahri, Kinci
Memahami Ilmu Tasawuf, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
Nurcholish Madjid,Islam
Doktrin Peradaban,Yayasan Waqaf Paramadina, Jakarta,1992.
Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa:Psikologi Sufi untuk Transformasi, Terj.Hasmiyah
Rauf, Serambi, Jakarta, 2005.
[1] Mustafa Zahri,Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hlm.155
[2]
http://juansyah.wordpress.com/2011/08/04/tasawuf
[3] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi,
Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 8
[4]
http://darul-ulum.blogspot.com/2008/09/hati-diri-dan-jiwa-psikologi-sufi-untuk.html
[5] Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin Peradaban,Yayasan Waqaf Paramadina, Jakarta,1992,hlm.205
[6]
Robert Frager, Hati,Diri,dan
Jiwa:Psikologi Sufi untuk Transformasi,Terj.Hasmiyah Rauf, Serambi,
Jakarta, 2005, hlm.76-78.
[7]
Muhammad Alfan,
Psikologi Tasawuf, Pustaka Setia,
Bandung, 2011, hlm.42-43
[8] http://harkaman01.wordpress.com/2013/05/15/tasawuf-dan-psikologi-ilmu-jiwa/